“Jangan...ini permen punyaku.” rengek seorang
gadis kecil yang berusia sekitar 5 tahun. Bahkan rengekannya terdengar hingga
ujung komplek perumahan.
“Cepat berikan!” ujar lelaki kecil yang
mungkin juga seumuran dengan gadis itu. Setelah mengambil permen dari tangan
gadis mungil itu, tubuh besarnya mendorong gadis mungil itu hingga ia menangis
sejadi-jadinya.
Bukannya iba, bocah lelaki itu malah
menertawai gadis kecil itu dan meninggalkan ia sendirian di taman itu.
“Huhuhuhuhuhuhu” tangis gadis mungil itu
semakin menjadi.
“Kau kenapa? Apa yang membuatmu
menangis?”
“Aku tadi ingin bermain dengannya, tapi
dia malah mengambil permenku dan mendorongku.” ujar gadis kecil itu sambil
sesenggukan.
“Sudah, jangan menangis lagi. Kau mau
bermain denganku?”
“Memang kau mau bermain denganku? Kata
dia, cewek itu tidak pantas main dengan cowok.” ujarnya polos.
“Hahaha, buktinya aku mengajakmu bukan?
Itu artinya aku mau bermain denganmu. Siapa namamu? Namaku Adguna Putra, kau
bisa memanggilku Guna.”
“Namaku Elok Mentari, kau bisa
memanggilku Mentari.”
“Nama yang indah.”
****
Aku masih mengingat jelas awal pertemuanku
dengannya, Guna. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini, usiaku sudah 18
tahun dan usia Guna 19 tahun. Yap, aku dan dia terpaut usia setahun. Sejak
perkenalan kita di taman komplek itu, aku dan dia menjadi semakin dekat. Sejak
SD hingga kini kami menjadi mahasiswa, kami selalu bersama. Lebih tepatnya, aku
yang selalu mengikuti dia. Entahlah rasanya aku sama sekali tidak bisa lepas
dari Guna.
Guna kecil sangat berbeda dengan Guna
yang sekarang. Guna yang sekarang jauh lebih dewasa. Apalagi semenjak ia masuk
ke dunia perkuliahan. Badan tegapnya tak pernah absen dari parfum. Rambut
cepaknya selalu ia sisir rapi dengan sedikit jambul didepan. Mirip dengan
potongan rambut Aliando. Berbeda dengan penampilannya dulu saat masih duduk
dibangku SMA. Tidak pernah rapi, baju keluar, dasi direnggangkan, persis
seperti berandalan. Tapi, mau bagaimana pun Guna, ia selalu terlihat tampan.
Mungkin efek lesung pipi di pipi kanannya atau mungkin memang sudah menjadi
takdir dia menjadi pria tampan, entahlah aku tidak tahu itu.
Aku masih ingat, saat aku menangis di
taman komplek itu. Setelah kami berkenalan, ia berkata padaku, “Aku janji akan
selalu menjagamu. Aku nggak suka melihatmu menangis seperti tadi. Kau tahu, kau
akan terlihat lebih cantik bila kau tersenyum. Jadi, tersenyumlah.”. Aku
bergidik geli setiap mengingat kalimat itu. Tapi sepertinya, aku terbius dengan
janji itu. Janji dia yang akan selalu menjagaku.
“Selamat pagi, Mentari....” sapanya dari
atas motor saat melihatku membuka pagar. Sudah menjadi rutinitas kami
mengucapkan selamat pagi sebelum kami berangkat ke
kampus. Guna selalu menjemputku, padahal aku tidak pernah memintanya untuk
melakukan itu.
“Pagi, Guna.” sapaku sambil tersenyum.
“Kau tampak berbeda.”
“Maksudmu?”
“Sejak kapan kau memakai bedak
dan....kau memakai lipstik?” Ia memajukan wajahnya beberapa senti sehingga
wajahku dan wajahnya menjadi sangat dekat. Bahkan saat itu, aku bisa merasakan
hembusan nafas Guna.
“Sial! Kau belum lupa kan sekarang usiaku
berapa? 18 tahun, Guna. Apa aku salah jika merubah sedikit penampilanku?”
ujarku sambil memajukan bibirku beberapa senti.
“Hahaha, iya deh yang sekarang sudah menjadi
mahasiswi. Tapi kau terlihat lebih---”
Belum selesai Guna berbicara, aku
memotong ucapannya. “Cantik? Terima kasih hahaha. Sudah ah ayo berangkat, mau
sampai kapan kita disini.”
Aku melihat raut wajah kesal Guna.
Sebenarnya aku tahu kenapa ia begitu. Guna tidak suka jika pembicaraannya
dipotong begitu saja. Tapi aku juga tahu, ia tidak pernah bisa marah lama-lama
denganku. Aku langsung naik ke atas motor besar Guna. Memeluknya dari belakang
dan berkata, “Maaf, jangan marah ya?” dengan wajah sedikit memelas dan dengan
nada manjaku.
Aku melihat wajah Guna di spion
motornya, ada satu senyuman mengembang disana. Senyuman khas Guna. Aku yakin
wanita manapun tidak akan bisa menolak senyuman Guna dan aku adalah salah satu
wanita yang beruntung yang bisa melihat senyum Guna setiap saat. “Kau selalu
begitu.” ujarnya lalu menstater motornya.
Sesampai di kampus, lagi-lagi aku
melihat orang-orang memandangi kami tidak enak. Aku juga tidak tahu mengapa. Aku
bagaikan rusa yang diintai oleh sekian banyak harimau yang sedang kelaparan.
“Sudah, tidak usah dihiraukan. Hampir setiap pagi kau terlihat ketakutan
seperti itu.”
“Aku disini mahasiswa baru, Gun.
Jelaslah aku merasa risih. Apa karna aku anak semester 1, makanya aku tidak
boleh dekat-dekat dengan anak semester 3?”
“Hahahah, kau lucu sekali. Daripada kau
terus menerus memikirkan mereka, lebih baik sekarang kau masuk kelas. Mereka
tidak tahu apa-apa tentang kita, tidak usah dihiraukan.”
Aku hanya mengangguk mengerti mendengar
ocehan Guna. Dia selalu berhasil membuatku lebih tenang. “Setelah kuliah, aku
tunggu dikantin.”. Aku hanya tersenyum dan meninggalkan Guna sendirian di
parkiran. Mataku mengedar ke seluruh penjuru kampus, mencari Rani temanku sejak
SMA. Ia sahabat keduaku selain Guna. Guna juga tahu soal Rani. Bahkan kami
bertiga sering menghabiskan waktu bersama.
Dan akhirnya aku menemukan sosok Rani.
Sedang berdiri didepan papan mading dan....ya, bersama kekasih hatinya Tama.
“Rani!” teriakku memanggil Rani. Setengah berlari, aku menuju tempat Rani dan
Tama. “Udah daritadi ya? Maaf lama, tadi----”
“Guna dan tatapan sinis itu lagi?” ujar
Rani sambil tersenyum. Rani sudah sangat hafal dengan kegiatanku di pagi hari.
Bagaimana tidak, aku tidak pernah absen menceritakan setiap detail hal yang aku
lalui. Aku hanya menangguk dengan wajah sedikit lesu.
“Guna sudah sering bilang kan, jangan
hiraukan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian, termasuk soal---”
“Shut
up, Rani!”
“Sayang, aku ke kelas duluan ya. Nanti
pulang kuliah aku tunggu dikantin, bareng sama Guna kayaknya. Well, Mentari....kau tidak lupa kan
kalau aku juga mengetahui salah satu rahasiamu?” Tama tiba-tiba angkat bicara.
Nampaknya ia mulai tahu alur pembicaraan kami.
“Ku mohon, Tama jangan lakukan itu. Aku
janji suatu saat nanti aku akan melakukannya tapi tidak sekarang.”
Tama tidak mendengarkan ucapanku.
Setelah mencium kening Rani, ia langsung pergi begitu saja. Aku mendengus kesal
dengan sikap pacar sahabatku ini.
“Pacarmu tuh.” omelku pada Rani.
“Hahaha, sudah. Yuk masuk kelas.”
Seusai jam kuliah, aku dan Rani segera
menuju kantin. Hari ini adalah hari yang menyebalkan, 2 quiz dalam sehari. Aku
dan Rani mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Saat ini pukul 12:00,
wajar saja jika kantin penuh sesak. Bahkan kami harus sedikit menjijit untuk
mencari Guna dan Tama. “Tuh mereka disana.” ujar Rani kemudian. Aku mengikuti
langkah Rani. Beberapa meter dari tempatku dan Rani berdiri, aku melihat Tama
dan Guna sedang asyik membicarakan sesuatu. Guna memperhatikan Tama sangat
serius. “Ku mohon Tama, jangan lakukan itu.” batinku.
“Hai sayang.” sapa Rani pada Tama. Tama
membalasnya dengan kecupan hangat di kening Rani. Aku hanya tersenyum melihat
adegan bak ftv ini, sambil berkata dalam hati, “Kapan aku bisa merasakan itu?”
“Bagaimana kelasmu hari ini, Mentari?”
ucapan Guna membuyarkan lamunanku.
“Menyebalkan.” ucapku singkat, lalu
duduk disebelah Rani.
“Ada apa?” tanya Guna.
“Hari ini dikelas kami, ada quiz
mendadak. Padahal baru kemarin kami menerima materi dari mereka.” Rani menjawab
pertanyaan Guna. Aku meletakkan kedua tanganku diatas meja, dan menelungkupkan
kepalaku disana. Tak lama, aku merasakan kepalaku dielus lembut. Aku
menengadahkan kepalaku, dan ternyata Guna sudah merubah posisi duduknya. Kini
ia sudah duduk disebelahku dan Rani berpindah tempat disebelah Tama.
“Begitulah mahasiswa, Mentari.
Kesimpulannya setiap saat kau harus belajar, jadi bila ada quiz sewaktu-waktu,
kau bisa dengan mudah menjawabnya.” ujar Guna sambil tersenyum.
“Aku sedang tidak ingin mendengar
ceramahmu, Gun. Maaf.” ucapku seadanya, lalu menelungkupkan kepalaku lagi
diatas tanganku.
Dua quiz hari ini berhasil merusak mood’ku. Padahal tadi pagi, aku sudah
bersemangat berangkat kampus. Guna hanya tersenyum mendengar jawabanku. “Gun,
sebenarnya tadi ada ingin aku bicarakan denganmu.”
Shock
Therapy Tama sungguh berhasil membangunkanku. Aku melotot
sejadi-jadinya ke arah Tama. Namun sepertinya Tama tidak menghiraukan kodeku
itu. “Oh ya? Apa yang ingin kau bicarakan?” ujar Guna.
Aku melihat Tama ingin menjawab
pertanyaan Guna tadi. “Gun, kita pulang sekarang ya. Aku benar-benar lelah hari
ini.” ujarku cepat. Tama sedikit menoleh ke arahku dan aku bisa melihat itu,
senyum kemenangan dari wajah Tama. Rani hanya menggelengkan kepala melihat ulah
kekasihnya itu. Sepertinya ia tidak mau terlibat dengan urusan ini.
“Kenapa buru-buru, Mentari?” tanya Tama
yang aku yakini itu hanyalah basa-basi.
“Aku sudah merindukan kasur dan bantal
kesayanganku dirumah.” jawabku setengah memberikan senyum kesalku pada Tama.
“Sudahlah, Gun lebih baik kau antar
Mentari sekarang. Kasian dia, wajahnya sudah lusuh begitu. Permbicaraanmu
dengan Tama kan bisa dilanjut kapan-kapan.” sambung Rani.
Aku tersenyum puas mendengar ucapan
Rani. Ia memang selalu menjadi penyelamatku, selain Guna. Guna nampak berpikir
beberapa detik sambil melihat ke arahku. “Baiklah, ayo pulang.” ujarnya
kemudian. Aku menghembuskan nafas lega saat ia mengiyakan ajakanku. Setelah
berpamitan dengan Tama dan Rani, aku dan Guna segera menuju parkiran.
Sampai diparkiran, lagi-lagi pemandangan
itu ku lihat. Namun kali ini, aku benar-benar tidak mau ambil pusing. Aku sudah
cukup menyerah dengan hari ini. “Kau yakin ingin langsung pulang?” tanya Guna
lagi.
“Ya.” jawabku singkat.
Guna tidak menjawab jawabanku tadi. Aku
langsung menaiki motornya, memeluknya, menenggelamkan wajahku pada punggungnya
dan menghirup aroma parfum yang masih menempel dibadannya.
Selang 30 menit, aku tiba dirumah. Ingin
rasanya aku segera memeluk bantal gulingku yang empuk dan boneka teddy bear
besar didalam kamarku. Aku turun dari motor Guna, belum mengatakan apa-apa Guna
sudah angkat bicara. “Istirahatlah.” begitu katanya. Aku tersenyum mendengar
pernyataan Guna, “Hati-hati.” ujarku kemudian.
****
Hari ini tidak seperti hari-hari
biasanya. Biasanya Guna yang menungguku di kantin, tapi kali sebaliknya. Dia
bilang masih ada urusan sedikit dikelas. Aku mengutak atik handphone’ku dengan
asyiknya sampai-sampai aku tidak menyadari kehadiran Guna disana. Jika Rani
tidak menyenggol sikutku, aku tidak akan lepas dari gadget’ku ini.
Aku terkejut melihat Guna datang dengan
seorang wanita. Cantik, rambut panjangnya menjuntai dengan indah, kulitnya juga
putih, sudah mirip dengan Miss Universe. “Mentari, maaf hari ini aku tidak bisa
mengantarmu pulang. Aku ada urusan mendadak dengan Maudy.” begitu kata Guna.
Aku melihat Guna sangat antusias hari ini. Rona bahagia begitu tampak di
wajahnya. “Oh begitu, baiklah. Ran, aku pulang bareng ya?” ujarku sambil
menoleh ke arah Rani. Rani hanya tersenyum. Aku mengartikannya sebagai ya.
Tanpa berpamitan, Guna langsung meninggalkanku dengan Rani yang masih duduk
diam. Aku menatap kepergian Guna, tidak biasanya dia seperti ini. Tapi
sudahlah, mungkin urusannya memang benar-benar penting.
Malam harinya, Guna datang ke rumahku.
Sudah biasa ia main dirumahku malam-malam. Biasanya kalau ia datang ke rumahku
malam-malam pasti ada sesuatu yang ingin ia ceritakan.
“Kau pernah merasakan jatuh cinta?”
ujarnya tiba-tiba. Aku langsung menghentikan aktivitas menontonku dan fokus
mendengarnya berbicara.
“Kau bilang apa barusan?” tanyaku ulang.
“Kau pernah merasakan jatuh cinta?”
ulang Guna.
“Kau sedang merasakannya?”
“Mungkin.” ujarnya singkat.
“Dengan Maudy?”
“Hahahah, kau sangat pandai menebak
ternyata. Kau memang benar-benar sahabat yang paling mengertiku.” ujarnya
sambil menepuk-nepuk pundakku.
Entah mengapa hatiku teriris mendengar
jawaban Guna tadi. Ada rasa takut yang menyeruak dalam hatiku. Aku terdiam
beberapa saat. “Gun, aku ngantuk. Bukan maksudku untuk mengusirmu, tapi----”
aku sedikit berpikir, mencari alasan yang tepat untuk mengusir Guna secara
halus.
“Baiklah, aku pulang dulu. Emm satu
lagi, besok aku tidak bisa mengantarmu ke kampus karena----”
“Ya, aku mengerti. Sepertinya mulai
besok jasa Pak Badrun sangat ku perlukan.”
Guna tertawa mendengar jawabanku.
Bagaimana tidak, kedua orang tuaku memberiku fasilitas lengkap termasuk mobil
dan supir namun aku tidak pernah menggunakannya karena Guna selalu menjemputku
setiap pagi. Entah kalimat apa yang besok ku dengar dari mereka saat aku bilang
bahwa Guna tidak (akan pernah) menjemputku.
Aku merebahkan badanku diatas kasur
empukku sambil memeluk boneka teddy bear kesayanganku. Boneka ini pemberian
dari Guna saat aku berusia 10 tahun, dan satu-satunya hadiah yang ia berikan
untukku. Perkataan Guna tadi masih terekam jelas di otakku. Ia bilang ia sedang
jatuh cinta, dan gadis beruntung yang mendapatkannya adalah Maudy. Bulir-bulir
bening itu akhirnya jatuh. Aku mengeratkan pelukanku.
To:
Rani (Work)
Ran,
besok bolos kuliah yuk?
Lagi
pula besok kan mata kuliah membosankan
Plisssss,
kali ini saja. Aku ingin menceritakan sesuatu.
Saat ini aku membutuhkan sosok yang bisa
mendengarkanku. Aku butuh sosok yang bisa menenangkanku. Dulu, Guna selalu
menjadi sosok itu tapi sepertinya mulai besok semua akan berubah.
From:
Rani (Work)
Oke,
besok langsung ke kost’anku saja.
****
“Dan akhirnya ketakutanku terwujud.”
ucapku memecah keheningan.
Kini aku berada di kost’an Rani.
Pagi-pagi betul aku sudah berangkat. Aku tidak ingin mendengar pertanyaan mama
dan papa apa alasan Guna tidak menjemputku hari ini. Sebelum ke tempat Rani,
aku membeli sejumlah makanan ringan plus minuman. Entah untuk apa, tapi aku
merasa bahwa aku perlu membelinya.
“Sudah ku bilang berkali-kali padamu,
kau harus mengatakannya.” jawab Rani lalu menyeruput minuman kotak yang aku
beli tadi.
“Mengatakannya atau tidak, hasilnya akan
tetap sama. Aku juga akan tetap kehilangan dia.”
“Tar---”
“Aku terlalu takut kehilangan dia, Ran.
Sejak kecil aku selalu bersamanya, sampai akhirnya begini. Aku tidak bisa mengontrol
semuanya.”
“Ini bukan salahmu, Tar.”
“Lalu salah siapa? Salah Guna?”
Tiba-tiba handphone Rani berbunyi. Tentu
saja itu Tama. “Kau tidak ijin ya kalau hari kau bolos?” tanyaku. Rani
menggeleng, “Aku bilang. Bahkan saat ku terima sms darimu, saat itu aku sedang
bersamanya. Malah dia yang menyuruhku menerima ajakanmu, dia bilang kau sangat
membutuhkanku saat ini dan sudah seharusnya aku ada disampingmu.” “Biar ku
loudspeaker.”. Setelah itu, Rani menekan tombol loudspeaker. Di ujung telpon,
terdengar suara sangat berisik sampai-sampai aku harus menutup telingaku.
“Halo?”
“Iya, ada apa sayang?”
“Ini aku Guna. Maaf aku menggunakan
handphone pacarmu karna kau tau kan aku tidak punya nomor telponmu, yang ku
punya hanya id linemu. Apa kau sedang bersama Mentari? Daritadi aku tidak bisa
menghubunginya.”
Aku menggeleng ke arah Rani. Memberikan
kode agar tidak memberi tahu Guna tentang keberadaanku. “Ya, tadi ia bersamaku
namun hanya mengantarkan sarapan untukku setelah itu ia bilang akan pergi ke
kampus. Kau sedang bertengkar dengannya?”
“Tidak, semua baik-baik saja. Baiklah,
terima kasih kalau begitu. Semoga kau cepat sembuh.”
Saat telpon sudah benar-benar mati,
bulir-bulir bening itu pun kembali melunjur bebas. Guna mencariku. Selama ini
aku tidak pernah absen dari sampingnya. Aku selalu ada dimana pun ia berada,
tapi tidak untuk hari ini. Aku ingin “menormalkan” hatiku dulu. Bertemu dengan
Guna, justru malah membuatku semakin “tidak normal”.
“Dia mencarimu, Tar.”
“Hanya untuk menceritakan padaku
bagaimana indahnya hari ini ia habiskan bersama calon kekasihnya. Atau bahkan
saat ini mereka sudah resmi---Ran, aku menginap disini ya? Malam ini saja. Aku
yakin Guna pasti akan mencariku dirumah.”
Rani hanya mengangguk. Seharian ini aku
habiskan untuk menceritakan semua yang aku rasakan. Hanya Rani yang tahu isi
hatiku, bahkan Guna yang sudah lebih lama mengenalku tidak tahu isi hatiku yang
sebenarnya. Kebersamaan kami---kebersamaan seorang sahabat namun ia tidak
pernah tahu rapuhnya perasaanku.
To:
My Mom (Work)
Ma,
hari ini Mentari tidur di kost’an Rani
Maaf
Mentari baru memberi tahu mama sekarang
Kalau
Guna mencari Mentari, mama bilang saja Mentari
sedang
pergi ke rumah oma.
Mama
nggak perlu khawatir sama Mentari,
Mentari baik-baik aja.
Besok
pagi Mentari pulang.
Aku menghentikan langkahku ketika sudah
sampai didepan pagar. Aku melirik jam tanganku, baru pukul 6 pagi. Apa aku
sedang berhalusinasi? Berulang kali aku mengucek mataku, namun hasilnya tetap
sama. Sosok itu tetap berdiri tegak didepan terasku.
“Guna?”
“Kemana saja kau? Bbm, sms, telpon
semuanya tidak bisa. Apa kau tahu sejak kemarin aku kebingungan mencarimu.”
Aku berusaha tegar. Berusaha menutupi
apa yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tersenyum, ya tentunya senyum yang
dipaksakan dan berharap Guna tidak membaca senyum palsuku ini. Kini, aku sudah
berada tepat dihadapannya.
“Berlebihan.” ucapku singkat.
“Kau bilang berlebihan? Hei! Kau tidak
ada dikampus, Tama bilang kau mau ke kost’an Rani tapi ternyata saat aku
menelpon Rani kau sudah pergi dan bilang akan ke kampus, aku datang ke rumahmu
tapi---”
“Mama bilang aku pergi ke rumah oma? Kau
sudah tahu jawabannya lalu mengapa kau masih kebingungan mencariku? Dan
sekarang kau lihat kan, aku berada dihadapanmu dalam keadan sehat tanpa kurang
suatu apapun.”
Guna terdiam. Bahkan ia sama sekali
tidak menjawab pertanyaanku tadi. “Lalu mengapa kau tidak memberi tahuku bahwa
kau pergi ke rumah oma?” tanyanya kemudian.
“Aku lupa. Maaf.” jawabku singkat.
“Kau tidak sedang berusaha menghindariku
kan?”
Deg! Pertanyaan itu. Kenapa bisa
pertanyaan semacam itu keluar dari mulutnya. Aku memalingkan wajahku. Suasana
pagi ini sejuk, namun terasa panas bagi tubuhku. “Beri aku satu alasan mengapa
aku harus menghindarimu?”
Guna diam beberapa saat, seperti orang
yang sedang berpikir. “Mungkin....karna kau cemburu pada Maudy?” ujarnya
kemudian. Hatiku makin teriris mendengar jawaban itu. Maudy, maudy, dan maudy.
Nampaknya nama itu akan selalu ada di setiap pembicaraanku pada Guna dan akan
berawal sejak hari ini.
“Untuk apa aku cemburu pada calon
kekasihmu?” tanyaku seedikit gugup.
“Entahlah. Hanya kau yang bisa
menjawabnya.”
“Pertanyaan bodoh.” jawabku sambil
tersenyum sinis. “Sekarang kau sudah melihatku bukan? Ini juga masih pagi,
pulanglah, aku ingin melanjutkan tidurku.”
“Kau mengusirku?”
Aku tersenyum mendengar jawabannya.
Masih dengan senyum palsu. Aku maju selangkah, lalu memeluk tubuh Guna. Pelukan
“persahabatan”.
“Kau tahu, kemarin adalah hari terberat
untukku. Yang aku butuhkan saat ini adalah istirahat.” aku melepaskan
pelukanku. “Kau mengerti kan, Gun?”
“Apa kau sedang punya masalah?”
Aku menggeleng. “Kau bisa datang lagi
nanti malam.”
“Dan semoga nanti malam, wajahmu sudah
tidak selusuh ini.”. Jawaban Guna membuatku tertawa. “Aku begini juga karnamu, Gun.” batinku.
Malam harinya Guna benar-benar datang. Sepertinya ia
mulai mencurigai ada sesuatu yang aneh pada diriku. “Ikut aku.” begitu katanya
saat aku baru membuka kan pintu rumah. Belum sempat aku menjawab, ia sudah
‘menyeret’ku masuk kedalam mobilnya. Bahkan saat ini, aku masih menggunakan
baju tidurku dengan rambut dicepol. Sampai akhirnya, kini aku dan dia berada
dipinggir danau. Tempat yang sangat sering kita datangi. Biasanya kami naik
perahu ke tengah danau tapi kali ini tidak karena matahari sudah kembali ke
peraduannya.
Aku memejamkan mata dan menarik nafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya. Menikmati semilir angin di danau ini.
“Kau masih tidak ingin menceritakan
masalahmu padaku?” ucapan Guna membuatku langsung menoleh ke arahnya.
“Aku tidak sedang punya masalah.” ujarku
berbohong.
“Sungguh?”
“Ya. Kau mengenalku sudah lama, Gun.
Setiap kali aku sedang ada masalah, aku selalu menceritakan semuanya padamu bukan?
Bahkan kau adalah orang pertama yang tahu tentang masalahku.”
“Kau tidak sedang berbohong padaku kan?”
“Tidak. Aku benar-benar sedang tidak
punya masalah.”
Guna memang selalu tahu setiap detail
masalah yang aku hadapi. Dia selalu memberiku masukan dan bahkan membantuku
menyelesaikan masalah. Tapi tidak untuk kali ini. Aku tidak ingin Guna tahu tentang
hatiku. Aku tidak mau Guna tahu betapa hancurnya aku melihat kedekatannya
dengan Maudy. Aku tidak mau merusak kebahagiaan Guna.
****
Pagi ini lagi dan lagi aku tidak
dijemput oleh Guna. Aku memutuskan untuk membawa mobil sendiri. Sebelum menuju
kampus, aku menjemput Rani ke kost’annya. Kami memang sudah membuat janji akan
berangkat kuliah bersama.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh
penjuru kampus. Dan akhirnya aku menemukan sosok itu. Duduk di pelataran kampus
sambil memegang gitarnya. Tampan. Dan disampingnya....Maudy. Mereka tertawa
lepas. Sampai akhirnya Guna, melihatku sedang berdiri memperhatikannya.
“Ran, kita lewat sebelah sana saja.” Aku
langsung berjalan ke arah lain. Sebisa mungkin aku tidak melewati mereka.
Melihatnya saja, sudah membuatku sakit. Tidak, hari ini aku tidak boleh
menangis. Hari ini adalah Dies Natalis kampusku, tentunya aku akan berlama-lama
di kampus karna perayaan itu. Saat acara puncak, Guna akan tampil sebagai
pengisi acara berduet dengan Maudy.
Aku mengajak Rani menuju lantai 7 gedung
kampusku. Disana sangat sepi dan bahkan tidak pernah ada mahasiswa ke lantai
itu.
“Kemarin aku melihat iklan beasiswa ke
Korea.” ujarku memecah keheningan.
“Lalu?”
“Aku ingin mencobanya, siapa tahu aku
bisa mendapatkan beasiswa itu.”
“Dan jika pengajuanmu di terima, kau
akan mengambilnya dan pergi ke Korea sekaligus untuk melupakan Guna. Begitu?”
“Hanya itu cara supaya aku bisa lepas
dari bayang-bayang Guna.”
“Lari dari kenyataan.”
Belum sempat aku menimpali perkataan
Rani, handphone’ku berbunyi. Nama GUNA muncul dilayar handphone’ku.
“Kau dimana?” ucap Guna saat aku baru
menekan tombol hijau dan belum sempat berkata ‘hallo’.
“Kantin.” jawabku berbohong.
“Bohong! Saat ini aku sedang di kantin,
dan kau tidak ada. Cepat katakan dimana kau sekarang?!”
“Sial!!”
batinku. “Lantai 7.” Setelah itu telpon terputus. Aku yakin, Guna pasti
langsung menyusulku kemari. Dan benar saja tidak sampai 10 menit, ia keluar
dari lift tepat disaat aku selesai menghapus air mataku.
“Apa yang kalian lakukan disini?”
“Mencari ketenangan. Dibawah terlalu
berisik, sibuk menyiapkan acara untuk nanti malam. Kau pengisi acara,
seharusnya kau sedang check sound
saat ini.” ucap Rani.
“Memangnya apa yang sedang kalian
bicarakan?” tanya Guna sambil mengerutkan keningnya.
“Pengajuan beasiswa Mentari ke Korea.”
jawab Rani.
Aku langsung mencubit perut Rani. Guna
belum tahu soal ini dan dengan polosnya Rani membocorkannya. Habislah aku
setelah ini, Guna pasti akan mengintrogasiku panjang lebar.
Tepat setelah Rani menjawab pertanyaan
Guna, Guna langsung diam seribu bahasa. Aku tahu Guna pasti terkejut karna
justru ia tahu mengenai beasiswa itu dari orang lain, bukan dari mulutku
sendiri. “Nanti ku jelaskan. Turunlah, kau harus check sound.” ucapku kemudian dan Guna langsung pergi begitu saja.
Kini saatnya Guna dan Maudy tampil. Guna
terlihat tampan menggunakan kemeja putih yang digulung setengah lengan, begitu
juga dengan Maudy. Mengenakan mini dress
merah maroon, rambut panjangnya ia curly.
Mereka nampak....serasi. Membawakan lagu dari Tulus yang berjudul Mengagumimu
dari Jauh. Aku rasa Guna sengaja memilih lagu itu karna lagu itu sangat jelas
menggambarkan isi hatinya pada Maudy. Tama, Rani, dan penonton lainnya begitu
menikmati alunan melodi dan suara merdu mereka. Kecuali aku. Kedua mata mereka
tidak bisa dibohongi. Mata yang sedang jatuh cinta. Mana mungkin aku tega
merusak kebahagiaan Guna.
Tepat saat lagu berakhir, air mataku tak
terbendung lagi. Aku langsung berlari keluar dari kerumunan penonton. Aku
menangis sejadinya didalam kamar mandi. Perih. Sekian tahun aku memendam rasa
ini pada Guna. Sekarang senyuman Guna bukan hanya untukku tapi juga untuk
Maudy, tawa Guna juga untuk Maudy.
Keluar dari kamar mandi, tiba-tiba ada
seseorang langsung menarik tanganku. Ya, itu Guna. Sejak kapan ia didepan kamar
mandi dan apa ia mendengar tangisku tadi. Guna menarik tanganku sangat kencang.
“Guna sakit.” ujarku namun sepertinya Guna tidak menghiraukan. Ia terus menarik
tanganku dan membawaku ke belakang kampus. Akhirnya Guna melepaskan genggamannya.
“Arghh...sakit, Gun!” protesku sambil melihat pergelangan tanganku yang
memerah, namun lagi-lagi Guna hanya diam. Sebenarnya aku tahu apa maksud dan
tujuan Guna membawaku kemari.
“Beasiswa ke Korea?” ujarnya kemudian.
Aku menatap Guna. Pandangannya lurus ke
depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Gun---”
“Kau tidak pernah menceritakan tentang
itu padaku.” potongnya dengan nada sedikit meninggi hingga aku memejamkan mata.
Hening kembali menyeruak. Aku bingung ingin menjelaskan apa pada Guna. Aku
tidak mungkin mengungkapkan apa alasanku mengajukan beasiswa itu. “Kau bilang,
aku adalah orang pertama yang akan tahu segalanya tentangmu tapi buktinya? Aku
malah mendengarnya dari orang lain.” lanjut Guna masih dengan pandangan
lurusnya.
“Kau hari ini sangat sibuk, aku tidak
mungkin mengganggu aktivitasmu.”
“Jika pengajuanmu itu diterima, apa kau
akan mengambilnya?” akhirnya Guna menatapku. Matanya tajam menusuk. Aku suka
mata itu. Bola mata hitam pekat dengan bulu mata lentik. Mempesona.
“Tentu. Bukankah kesempatan emas itu
tidak akan datang dua kali?” jawabku mantap.
Guna tidak menjawab. Ia berdiri lalu
pergi tempatnya duduk. “Maafkan aku, Guna.” ujarku saat Guna sudah benar-benar
jauh. Lagi-lagi butir-butir bening itu tidak bisa ku tahan.
****
“Pengajuan beasiswaku diterima, Ran.”
Kini aku dan Rani lagi-lagi berada di
lantai 7. Lantai yang penuh dengan keheningan. Kemarin aku mendapat email bahwa
pengajuan beasiswaku di terima. Senang sekaligus sedih. Akhirnya aku
benar-benar harus melepaskan Guna.
“Kapan kau berangkat?” tanya Rani.
“Besok, pesawat jam 7 pagi.”
“Sepagi itu? Guna tahu?”
Aku menggeleng. Semenjak kejadian malam
itu, hubunganku dan Guna menjadi merenggang. Mungkin rasa kecewa Guna terlalu
besar. Ia selalu menghindar setiap kali melihatku. Ia selalu menyibukkan
dirinya dengan berbagai aktivitas kampus setiap kali aku mengajakya
menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya aku tidak tahan namun aku harus
bertahan. Aku menganggapnya sebagai latihan awal jika nantinya pengajuanku
diterima. Dan ternyata, pengajuanku benar diterima.
“Kau harus memberitahunya. Kau tidak
memberitahunya saat kau diam-diam mengajukan beasiswa ke Korea, dan sekarang
kau mau tidak memberitahunya lagi?”
Sudah lebih dari satu jam aku
mengelilingi kampus mencari sosok Guna. Teman satu kelasnya berkata bahwa Guna
sudah keluar kelas sejak tadi. Karna kelelahan, aku memutuskan untuk duduk di
taman belakang kampus. Aku sibuk dengan handphone’ku untuk menghubungi Guna dan
menanyakan keberadaannya. Langkahku terhenti saat aku melihat sosok Guna ada
ditaman belakang kampus dan ia sedang bersama....Maudy.
Aku tidak tahu apa yang sedang mereka
bicarakan. Namun tiba-tiba.....kedua wajah mereka semakin dekat dan semakin
dekat, hingga akhirnya....Aku melihatnya jelas. Tepat didepan mataku. Aku diam
terpaku beberapa detik mencerna apa yang barusan aku lihat lalu berbalik badan
dan berlari sekencang mungkin. Hatiku remuk. Hancur. Bahkan aku tidak
memperdulikan teriakan orang-orang yang tidak sengaja aku tabrak. Air mataku
terlalu deras mengucur. Beruntung hari ini aku diantar Pak Badrun ke kampus.
“Mentari?!” suara Rani. Aku hafal betul
suaranya. Namun aku tak menghiraukan teriakan Rani. Yang aku butuhkan saat ini
adalah sampai ke parkiran dan masuk ke dalam mobil lalu pergi dari kampus ini.
Aku tidak peduli sebentar lagi aku masih ada kelas kedua. Aku bahkan tidak tahu
jika aku tetap memaksakan ikut kelas kedua, apa aku mampu mencerna dan menerima
penjelasan dosen.
“Pak, kita pulang sekarang.” ujarku pada
Pak Badrun. Terlihat sekali Pak Badrun terkejut melihatku datang dengan kucuran
air mata. Tanpa banyak bicara, Pak Badrun langsung masuk ke dalam mobil. Saat
akan masuk mobil, tangan seseorang menahanku. “Kau kenapa?” Aku langsung
memeluk erat tubuh sahabatku itu. Ia mengerti kesedihanku. Akhirnya aku
menyuruh Rani ikut ke rumahku.
“Apa yang terjadi, Mentari?” tanya Rani
saat melihatku sudah sedikit tenang walaupun masih mengeluarkan air mata.
“Mereka....mereka berciuman didepan
mataku.” jawabku sambil sesenggukan. Rani langsung memelukku. “Kau pasti
hancur. Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini. Menangislah jika itu
membuatmu tenang.”
****
“Kau tidak ingin menghubungi Guna?”
tanya Tama. Hari ini aku diantar Rani dan Tama ke bandara. Akhirnya hari yang ku
tunggu datang. Hari dimana aku akan melepaskan cintaku. Salah. Melepaskan cinta
tak terbalasku.
“Aku tidak ingin merusak kebahagiaan
Guna.” “Terima kasih kalian sudah mengantarku ke bandara. Sampaikan salamku
pada Guna.” “Aku pasti akan merindukan kalian.” Aku memeluk Tama, lalu Rani.
Sebelum melepaskan pelukannya, Rani berkata, “Kau pasti kuat. Jaga dirimu
baik-baik disana.”
“Pasti. Main-mainlah jika sedang libur.”
setelah itu aku melepaskan pelukanku.
There I was
again tonight, forcing laughter, faking smiles
Same old, tired lonely place
Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy
Vanished when I saw your face
All I can say
is it was enchanting to meet you
Your eyes
whispered, "Have we met?" across the room, your silhouette
Starts to make its way to me
The playful conversation starts, counter all your quick remarks
Like passing notes in secrecy
And it was
enchanting to meet you
All I can say is I was enchanted to meet you
This night is
sparkling, don't you let it go
I'm wonder-struck, blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
I was enchanted to meet you
The lingering
question kept me up, 2 a.m., who do you love?
I wonder 'till I'm wide awake
Now I'm pacing back and forth, wishing you were at my door
I'd open up and you would say Heyyy
It was enchanting
to meet you
All I know is I was enchanted to meet you
This night is
sparkling, don't you let it go
I'm wonder-struck, blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
This night is
flawless, don't you let it go
I'm wonder-struck, dancing around all alone
I'll spend forever wondering if you knew
I was enchanted to meet you
This is me
praying that
This was the
very first page, not where the storyline ends
My thoughts will echo your name until I see you again
These are the words I held back as I was leaving too soon
I was enchanted to meet you
Please don't
be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you
Please don't be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you
****
“Akhirnya aku menemukan kalian.” ujar
Guna saat berhasil menemukan dua orang yang sedari tadi dicarinya.
“Ada apa, Gun?” tanya Rani.
“Sudah dua hari aku tidak melihat
Mentari dikampus. Handphone’nya juga tidak aktif, rumahnya pun sepi.”
“Untuk apa kau mencari Mentari? Apa ada
sesuatu yang penting?” sambung Tama.
“Kalian tahu sesuatu tentang Mentari?”
“Dua hari yang lalu ia terbang ke Korea.
Pengajuan beasiswanya diterima dan ia harus segera mengurus segala
administrasinya disana. Ia juga sudah mencoba menghubungi handphone’mu tapi
selalu tidak aktif. Kau dapat salam darinya.” jawab Rani.
Guna terdiam mendengar jawaban Rani.
Senyum cerahnya pudar seketika. “Mengapa kalian tidak memberitahuku?!” Guna
mulai emosi. “Hey! Kau tidak perlu membentak kekasihku seperti itu! Kenapa?!
Kau merasa kehilangan? Bukankah kau sudah tidak membutuhkannya, toh saat ini
kau sudah mempunyai Maudy. Kau sangat bodoh, Gun.”
“Apa maksudmu?!” Emosi Guna semakin
memuncak.
“Kau sudah bersahabat lama dengan
Mentari, namun kau belum tahu semua tentangnya, sedangkan Mentari apapun
tentang dirimu dia pasti tahu.”
“Aku tahu semua tentangnya!”
“Baiklah, kalau begitu jawab
pertanyaanku. Siapa lelaki yang saat ini dicintai Mentari?”
Guna terdiam. Ia tidak tahu harus
bagaimana menjawabnya. Guna sendiri juga tidak pernah menanyakan hal itu pada
Mentari.
“Kau tidak bisa menjawabnya?”
“Mentari mencintaimu, Gun.” sambung
Rani. “Kau adalah sahabat sekaligus cinta Mentari. Mentari terlalu takut
kehilanganmu, karna itu ia lebih memilih untuk menyimpan perasaannya. Ternyata kenyataan berkata lain. Tanpa
mengatakannya pun, Mentari juga akan kehilanganmu. Dan kau tahu mengapa Mentari
mengajukan beasiswa ke Korea? Itu semua karnamu. Ia tidak mau merusak
kebahagianmu dengan Maudy. Ia lebih memilih mengalah demi kebahagianmu.”
Guna pergi begitu saja saat Rani selesai
memberikan penjelasannya. Lebih tepatnya membongkar semua isi hati Mentari.
Tama dan Rani membiarkan kepergian Guna. Bukan karena mereka tidak peduli pada
Guna, namun mereka hanya ingin memberi waktu Guna untuk merenungkan semuanya.
Tama dan Rani tahu, Guna pasti sangat terpukul mendengar Mentari sudah tidak
bisa lagi disisinya kapanpun ia mau. Jarak dan waktu memisahkan mereka.
Guna duduk termenung di taman belakang
kampus. Ia masih tidak menyangka, Mentari meninggalkannya tanpa pamit. Tama
yang melihat sahabatnya itu pun merasa iba. Ia menghampiri Guna, walaupun Tama
tahu kehadirannya saat ini tidak diharapkan oleh Guna.
“Kau sendiri yang membuatnya pergi, Gun.
Percuma kau menyesalinya saat ini.”
“Aku memang bodoh. Benar-benar bodoh.”
“Tidak ada gunanya saat ini kau menyalahkan
dirimu sendiri. Semua sudah terjadi. Mentari sudah memilih jalan hidupnya.”
“Tiga hari yang lalu, Maudy
mengungkapkan perasaannya padaku di tempat ini.”
“Lalu?”
“Kami berciuman.”
“APA??!” Tama sebenarnya sudah tahu akan
hal itu. Ya, Rani yang menceritakannya. Namun ia tidak mungkin mengatakan bahwa
Mentari melihat mereka saat itu. Tama tidak membayangkan apa yang akan terjadi
jika Guna tahu akan hal itu.
“Kau tahu apa yang aku rasakan saat
itu?” “Tiba-tiba aku merasa Mentari ada dibelakangku. Aku melepaskan ciuman
itu. Setelah ku tengok ke belakang, ternyata tidak ada orang.”
“Dan kau menerima Maudy?”
“Ada
hal yang ingin aku bicarakan padamu, Gun.”
“Katakanlah.”
“Kau
tahu, kau adalah laki-laki pertama yang dekat denganku. Selama ini aku selalu
menutup diri dari laki-laki. Tapi entah mengapa, pertama kali aku bertemu
denganmu, aku merasa kau bisa menjagaku.”
“Maksudmu?”
“Aku
menyukai, Gun.”
Bagai
disambar petir, Guna tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Maudy menyatakan
perasaannya pada Guna. Selang beberapa menit, tiba-tiba Maudy mencium bibir
Guna. Guna terkejut, ia langsung menarik dirinya.
“Apa
yang kau lakukan?!”
“Maaf.
Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu.”
“Aku
tidak bisa. Aku harus pergi sekarang.”
“Tidak. Ciuman itu terasa hambar. Aku tidak
merasakan ada cinta disana. Berbeda ketika Mentari mencium pipiku sewaktu kita
masih SMA. Waktu itu aku sedang marah padanya karna ia pulang larut malam,
sampai-sampai kedua orang tuanya kebingungan mencarinya. Aku menemukan Mentari
ditengah jalan sedang diganggu oleh preman. Setelah menghajar habis
preman-preman itu, aku marah besar pada Mentari padahal sebelumnya aku tidak
pernah semarah itu pada Mentari. Tiba-tiba ia mencium pipiku dan mengucapkan
terima kasih karna sudah menolongnya.” “Awalnya ku kira, aku benar-benar jatuh
cinta pada Maudy, tapi ternyata aku salah. Bukan Maudy orang aku cintai.”
“Gadis itu....Mentari?”
“Aku tidak berniat membuatnya
benar-benar pergi dariku. Aku tahu aku salah, karna rasa kecewaku waktu itu.
Sungguh sebenarnya aku rindu menghabiskan waktu bersamanya, tapi egoku terlalu
besar. Sampai akhirnya...sekarang aku benar-benar kehilangan Mentari.” “Apa kau
tahu kapan Mentari kembali?”
“Tidak. Mentari tidak mengatakan kapan
ia kembali. Mungkin ia butuh waktu entah sampai kapan agar hatinya benar-benar
pulih.”
****
DUA
TAHUN KEMUDIAN
Aku sedang menikmati ‘liburan’ indahku
di Korea Selatan. Setelah seharian disibukkan dengan aktivitas kuliahku
akhirnya aku dapat menikmati indahnya kota Seoul malam ini. Dengan membawa
kamera DSLR’ku, aku tidak ingin menyia-nyiakan keindahan kota Seoul. Sejak SMA,
aku memang berangan-angan ingin ke Korea. Aku berharap dapat bertemu idolaku,
D.O “EXO”.
Saat ini aku sedang berada di
Cheonggyecheon Stream. Kata orang-orang, Cheonggyecheon Stream adalah
tempat paling romantis untuk melamar kekasih. Tidak heran, sedari tadi yang ku
lihat adalah sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta.
KRIK! KRIK! aku masih asyik dengan
kamera mencari obyek-obyek bagus. Saat aku ingin mencari obyek lain, tiba-tiba
aku melihat sosok yang ku kenal dari kamera. Aku meletakkan kameraku sejenak.
Sosok itu ada disana. Sosok yang aku rindukan setelah dua tahun tidak bertemu. Aku
masih tidak mempercayai apa yang ku lihat saat ini, hingga akhirnya, “Kau tidak
ingin memeluk sahabatmu ini? Apa kau tidak merindukanku?”
Akhirnya aku melihatnya. Adguna Putra.
Dengan langkah cepatnya, Guna menghampiriku yang masih bengong menatapnya.
Setelah Guna berada tepat dihadapanku, aku langsung memeluknya erat. Begitu
juga Guna, ia membalas pelukanku sambil mengelus rambutku.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Seharusnya yang kau tanyakan adalah
kapan aku tiba disini bukan menanyakan apa yang sedang aku lakukan disini.”
Aku tersenyum sambil menahan tawa
mendengar jawaban Guna.
“Baiklah. Kapan kau tiba disini?”
“Tadi pagi.”
“Sendirian?”
“Apa kau melihatku sedang bersama orang
lain?” Ia masih Guna yang sama. Guna yang aku kenal, dan Guna yang......(masih)
ku cintai.
Hening. Kami memutuskan untuk duduk
dipinggir sungai untuk menikmati indahnya malam di kota Seoul. “Bagaimana
kabarmu?” tanya Guna memecah keheningan.
“Baik, kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat.” “Aku sudah di
wisuda.”
“Sungguh? Selamat. Aku turut bahagia.”
“Kau tahu, saat aku di wisuda aku sangat
mengharapkan kau ada disana. Tapi aku tahu itu sangat mustahil.” “Mengapa kau
tidak menemuiku sebelum kau berangkat?”
Aku bingung harus menjawab apa. “Apa
kabar Tama dan Rani?” ujarku mengalihkan pembicaraaan.
“Jawab dulu pertanyaanku.”
Aku tidak bisa menghindar. Guna selalu
begitu, untuk kali ini aku gagal mengalihkan Guna. “Waktu itu aku sudah mencarimu
ke seluruh penjuru kampus tapi kau sudah tidak ada. Aku tanya ke beberapa teman
sekelasmu, mereka bilang kau sudah keluar kelas. Aku juga mencoba menghubungimu
tapi nomormu tidak aktif.” “Sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku tadi.”
“Mereka berdua baik-baik saja. Sebentar
lagi mereka akan bertunangan dan kau diundang, mereka menambahkan kau harus dan
wajib datang.”
“Pasti.” ujarku semangat. “Lalu kau?
Bagaimana kau dengan Maudy?”
“Hahahah.”
“Mengapa kau tertawa? Ada yang lucu?”
“Kau tahu, aku tidak pernah mempunyai
hubungan khusus dengan Maudy.”
“Apa?! Tapi waktu itu kau bilang kau
jatuh cinta padanya.”
“Memang. Tapi setelah itu, aku jatuh
cinta pada wanita lain.”
Aku patah hati untuk kedua kalinya. Jadi
Guna menemuiku hanya untuk menceritakan bahwa ia jatuh cinta pada wanita lain. Sungguh
beruntung wanita itu.
“Dua kali kau membuatku kecewa, Mentari.”
“Maksudmu?”
“Pertama, kau tidak menceritakan padaku
soal beasiswamu ini. Kedua, kau tidak pernah jujur kepadaku soal perasaanmu.”
Aku menghentikan aktivitas memotretku
seketika saat mendengar ucapan Guna. “Mengapa kau tidak pernah mengatakannya,
Mentari?” ujar Guna sambil menatap mataku. Mata yang sangat aku rindukan,
akhirnya aku melihatnya lagi. Mungkin ini memang sudah saatnya Guna mengetahui
semuanya. Aku sendiri juga tidak mungkin memendamnya terus menerus.
“Karna aku takut kehilanganmu. Aku sudah
cukup bahagia bisa berada disampingmu setiap saat walau kau tidak pernah tahu
apa yang aku rasakan.”
“Kau bilang kau bahagia didekatku walau
aku tidak mengetahuinya? Tapi saat ini kau berada di Korea, jauh dariku.”
“Aku tidak ingin merusak kebahagianmu
dengan Maudy. Semenjak kau mengenalnya, kau berubah. Waktumu hanya untuk Maudy,
bahkan kau lebih memilih menunggu Maudy yang sedang rapat BEM saat aku
mengajakmu pergi ke danau. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Didepanmu
aku tersenyum, aku mengatakan tidak apa-apa. Tapi apa kau tahu saat di danau
apa yang terjadi padaku?” aku berusaha menahan air mataku ketika mengingat
semua kejadian pahit itu. Akhirnya aku harus mengorek luka itu lagi, luka yang
sudah dua tahun ini aku pendam.
Tiba-tiba...cup. Guna menciumku. Didepan
umum. Ciuman pertamaku. Cukup lama, hingga akhirnya aku menarik diriku. Nafasku
masih tidak beraturan. Guna menatapku dengan wajah penuh kemenangan. “Apa yang
kau lakukan?!” ucapku pada Guna penuh emosi.
“Kau marah? Apa aku salah mencium wanita
yang aku cintai?” ujar Guna dengan wajah tidak bersalah.
“Apa?!”
Apa yang Guna katakan saat ini. Entah dapat
dari mana kalimat itu. Mungkin ia sedang kemasukan jin tempat ini atau...KLIK.
Guna menjentikan jarinya tepat didepan mataku.
“Kau bilang wanita yang kau cintai?”
kataku saat tersadar dari lamunan.
“Aku mencintaimu. Lebih dari cinta
seorang sahabat. Aku ingin kau selalu ada bersamaku.” “Will you marry me?” ucap
Guna sambil mengeluarkan kotak kecil berisi cincin dari dalam saku celananya. “Aku
bukanlah tipe cowok romantis. Aku lebih suka mengutarakannya secara langsung.
Kau mau?”
Aku tidak berkedip. Bagaikan mimpi. Aku
menjiwit tanganku sendiri, dan ini bukan mimpi. Guna tertawa melihatku
melakukan itu. “Kau tidak sedang bermimpi-----sayang.”
Aku tersenyum. Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Aku memeluk
Guna erat dan membisikan, “Ya, aku mau. Bagaimana mungkin aku bisa menolakmu.”.
Lalu Guna menjawab, “Terima kasih. Maaf aku sudah membuatmu terluka begitu
lama.”
Last night I heard my
own heart beating
Sounded like footsteps on my stairs
Six months gone and I'm still reaching
Even though I know you're not there
I was playing back a thousand memories, baby
Thinking 'bout everything we've been through
Maybe I've been going back too much lately
When time stood still and I had you
Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now
I know people change and these things happen
But I remember how it was back then
Wrapped up in your arms and our friends were laughing
'Cause nothing like this ever happened to them,
Now I'm pacing down the hall, chasing down your street
Flashback to the night when you said to me,
"Nothing's gonna change, not for me and you
Not before I knew how much I had to lose"
Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now
If you're out there,
If you're somewhere,
If you're moving on,
I've been waiting for you.
Ever since you've been gone
I just want it back the way it was before.
And I just wanna see you back at my front door.
And I say
Come back, come back, come back to me like
You would before you said it's not that easy
Before the fight, before I locked you out
But I take it all back now
Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now
You'd be here by now
It's not the kind of ending you wanna see now
Baby, what about the ending
Oh, I thought you'd be here by now, whoa
Thought you'd be here by now
****