Rabu, 18 Maret 2015

Jadi Mahasiswa Itu Keren


Hellow adek-adek cantik dan ganteng yang bentar lagi mau ujian! Udah nggak sabar pengen cepet-cepet unas terus lulus ya?! Setelah lulus mau kemance?! Kuliah or kerja?! Buat yang kuliah, kakak yang cantik nan imut (PD banget gua njirrr) ini mau bagi-bagi cerita tentang dunia perkuliahan. Yah walaupun aku baru setahun ngerasain bangku kuliah (yang tentu aja rasanya lebih dari rasa coklat, stoberi, vanila), tapi sedikit banyak udah mulai ngertilah gimana kuliah itu. Yak mari kita mulai~

Menurut dosen yang pernah ‘ceramah’ didalem kelas, dunia kuliah itu replika mini dari dunia nyata yang bakal kita rasain nantinya setelah lulus. Why? Because di dunia perkuliahan ini kalian bener-bener dituntut buat mandiri. Mandiri it’s not about ‘Mandi Sendiri’, ubah mindset kalian kalo kalian mikir begitu -_-. Mandiri disini maksudnya kalian bener-bener ngatur diri kalian sendiri. Bingung? Okelah kita masuk ke contoh langsung.

Waktu sekolah ketika kalian dapet tugas dari guru, mungkin kalian bakal cepet gampangin pr itu dengan pikiran ‘halah paling nggak diperiksa’ dan ketika pr kalian diperiksa jengjeng bingung sana sini pinjem jawaban temen. Dunia kuliah apa bisa begitu? Jawabannya adalah....tergantung. Kok tergantung sih kak? Karena nggak semua orang-orang yang kamu temui di kampus adalah orang-orang yang royal. Dunia perkuliahan nggak sama kayak dunia sekolah yang kalo mau nyontek tinggal comot. Di perkuliahan, ada beberapa orang yang ‘nggak sudi’ minjemin pr’nya buat kamu contek. Anggeplah kamu lagi apes nggak ada satu pun yang mau minjemin kamu jawaban, mau nggak mau kamu harus kerjain sendiri kan? 

Contoh berikutnya...

Suatu ketika kamu lagi sakit katakanlah sampe opname dan hari itu adalah hari dimana mata kuliah yang menurut kamu penting pake banget. Materi yang diajarkan dosen hari itu adalah materi yang akan keluar di ujian nantinya. Jangan berpikir karna ada satu mahasiswa yang nggak masuk, minggu depan ketika kamu mengikuti kuliah, si dosen bakal ngulang materi yang dia ajarkan minggu lalu. Nggak ada dalam sejarah dosen ngulang materi. Kalo kamu nggak masuk ya itu urusan kamu gimana caranya supaya nggak ketinggalan materi. Caranya? Pinjem catetan temen dan belajar sendiri, pahami materi sendiri kalo nggak ngerti baru tanya ke dosen. 

Next.....

Waktu kuliah masih bisa hangout nggak? Bisa hangout atau enggak itu tergantung kalian. Kalian harus bisa memilah antara kuliah dan kelayapan. Tapi menurut aku pribadi, waktu kelayapan kalian bakal lebih sedikit dibanding waktu kuliah. Skala prioritas; itu yang harus kalian lakukan. Karena setiap harinya kalian dikejar sama pr, tugas, presentasi, kuis. Memang refreshing itu perlu, tapi yeah liat-liat situasi dan kondisi lah ya. Jangan sampe karna kalian lebih ngutamain bolos buat kelayapan sama temen, ternyata di hari itu ada kuis yang nilainya ngaruh banget buat ujian lalu menyesallah kalian karna sudah bolos di hari itu.

And then.....

Jam kosong adalah surganya para pelajar. Bisa tidur di kelas, bisa nongkrong cakep di kantin, bisa becanda-canda bareng temen, dan lain sebagainya (gua jadi kangen masa SMA kan!). Di kuliah apa ada jam kosong? Of course ada. Surganya mahasiswa adalah ketika dosen nggak masuk entah itu karna ada seminar di luar kota atau hal lainnya. But, setelah itu dosen selalu dan selalu ngasih yang namanya ‘jam kuliah pengganti’. Disitulah nerakanya mahasiswa. Yang biasanya kalian cuma kuliah dua mata kuliah tapi karna ada kuliah tambahan, jadinya dalam sehari kalian bisa tiga mata kuliah. Bisanya kalian kuliah cuma 5 sks, karna ada jam tambahan kalian bisa kuliah jadi 8 sks dalam sehari. Yah masih mending gitu kalo jam penggantinya diadain pagi atau siang, kalo malem...tambah lengkap ‘penderitaan’ kalian. 

Hmm....

Tapi semua penderitaan itu bakal terbayarkan ketika kalian sudah menyandang gelar SARJANA. Pepatah bilang, bersakit-sakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Pengalaman-pengalaman yang aku sebutin di atas bukan untuk nakut-nakutin kalian kok. Maksud dan tujuan aku hanyalah untuk berbagi pengalaman supaya kalian nggak kaget nantinya ketika kalian benar-benar terjun ke dunia perkuliahan. Semoga tulisan aku ini membantu kalian mendapatkan wawasan baru.



NB:
Promosi dikit nggak papa kan ye? Kali aja kalian mau sharing sama diriku ini, langsung sajoh ke ask.fm aku: @komangut. Selama pertanyaannya nggak aneh-aneh, bakal aku jawab kok ^^


Photo by: instagram @dagelan

Minggu, 08 Maret 2015

Jarak Jauh

Koridor kampusku sudah sepi sejak pukul 8 tadi. Ya jelas saja sepi karna memang sudah tidak ada lagi kegiatan belajar-mengajar disini. Tapi aku masih ingin berlama-lama disini. Melihat dia yang sedang asyik dengan kanvas dan kuasnya. Sesekali aku menggunakan kamera di ponselku untuk membidiknya, menyimpan setiap gerak-gerik yang ia lakukan.

Sudah sebulan ini aku memperhatikannya. Tepatnya sejak aku dan dia tidak sengaja bertemu di salah satu acara sebuah organisasi di kampusku. Ia seperti magnet yang membuatku selalu ingin melihatnya. Melihatnya? Ya, melihatnya dari kejauhan. Bersembunyi dibalik keramaian. Atau seperti yang aku lakukan saat ini, bersembunyi dibalik pilar.

Jangan tanyakan padaku apakah aku tidak ingin dekat dengannya? Oh ayolah gadis mana yang tidak ingin dekat dengan seseorang yang ia sukai. Aku juga ingin mengenalnya. Aku juga ingin berada di posisi teman-teman wanitanya yang bisa bersenda gurau dengannya, membicarakan hal-hal gila yang bisa membuatnya tertawa. Aku ingin tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Jika dibandingkan dengan seluruh gadis dikampusku, aku hanyalah debu kecil yang tak terlihat. Karna tak terlihat itulah, mungkin ia sama sekali tidak menyadari keberadaanku selama ini.

Bagiku, bisa melihatnya dari jarak sejauh ini saja sudah cukup. Melihatnya tertawa, melihatnya melakukan hal-hal gila yang mengaduk perut, melihatnya menuntun kuas diatas kanvas, itu semua sudah lebih dari cukup. Tidak perlu ia tahu siapa aku.


-Sincerely-



Pengagum Rahasiamu




Sabtu, 27 September 2014

My Happy Ending



“Jangan...ini permen punyaku.” rengek seorang gadis kecil yang berusia sekitar 5 tahun. Bahkan rengekannya terdengar hingga ujung komplek perumahan.
“Cepat berikan!” ujar lelaki kecil yang mungkin juga seumuran dengan gadis itu. Setelah mengambil permen dari tangan gadis mungil itu, tubuh besarnya mendorong gadis mungil itu hingga ia menangis sejadi-jadinya.
Bukannya iba, bocah lelaki itu malah menertawai gadis kecil itu dan meninggalkan ia sendirian di taman itu.
“Huhuhuhuhuhuhu” tangis gadis mungil itu semakin menjadi.

“Kau kenapa? Apa yang membuatmu menangis?”
“Aku tadi ingin bermain dengannya, tapi dia malah mengambil permenku dan mendorongku.” ujar gadis kecil itu sambil sesenggukan.
“Sudah, jangan menangis lagi. Kau mau bermain denganku?”
“Memang kau mau bermain denganku? Kata dia, cewek itu tidak pantas main dengan cowok.” ujarnya polos.
“Hahaha, buktinya aku mengajakmu bukan? Itu artinya aku mau bermain denganmu. Siapa namamu? Namaku Adguna Putra, kau bisa memanggilku Guna.”
“Namaku Elok Mentari, kau bisa memanggilku Mentari.”
“Nama yang indah.”
                                                       ****
Aku masih mengingat jelas awal pertemuanku dengannya, Guna. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini, usiaku sudah 18 tahun dan usia Guna 19 tahun. Yap, aku dan dia terpaut usia setahun. Sejak perkenalan kita di taman komplek itu, aku dan dia menjadi semakin dekat. Sejak SD hingga kini kami menjadi mahasiswa, kami selalu bersama. Lebih tepatnya, aku yang selalu mengikuti dia. Entahlah rasanya aku sama sekali tidak bisa lepas dari Guna.
Guna kecil sangat berbeda dengan Guna yang sekarang. Guna yang sekarang jauh lebih dewasa. Apalagi semenjak ia masuk ke dunia perkuliahan. Badan tegapnya tak pernah absen dari parfum. Rambut cepaknya selalu ia sisir rapi dengan sedikit jambul didepan. Mirip dengan potongan rambut Aliando. Berbeda dengan penampilannya dulu saat masih duduk dibangku SMA. Tidak pernah rapi, baju keluar, dasi direnggangkan, persis seperti berandalan. Tapi, mau bagaimana pun Guna, ia selalu terlihat tampan. Mungkin efek lesung pipi di pipi kanannya atau mungkin memang sudah menjadi takdir dia menjadi pria tampan, entahlah aku tidak tahu itu.
Aku masih ingat, saat aku menangis di taman komplek itu. Setelah kami berkenalan, ia berkata padaku, “Aku janji akan selalu menjagamu. Aku nggak suka melihatmu menangis seperti tadi. Kau tahu, kau akan terlihat lebih cantik bila kau tersenyum. Jadi, tersenyumlah.”. Aku bergidik geli setiap mengingat kalimat itu. Tapi sepertinya, aku terbius dengan janji itu. Janji dia yang akan selalu menjagaku.

“Selamat pagi, Mentari....” sapanya dari atas motor saat melihatku membuka pagar. Sudah menjadi rutinitas kami mengucapkan selamat pagi sebelum kami berangkat ke kampus. Guna selalu menjemputku, padahal aku tidak pernah memintanya untuk melakukan itu.
“Pagi, Guna.” sapaku sambil tersenyum.
“Kau tampak berbeda.”
“Maksudmu?”
“Sejak kapan kau memakai bedak dan....kau memakai lipstik?” Ia memajukan wajahnya beberapa senti sehingga wajahku dan wajahnya menjadi sangat dekat. Bahkan saat itu, aku bisa merasakan hembusan nafas Guna.
“Sial! Kau belum lupa kan sekarang usiaku berapa? 18 tahun, Guna. Apa aku salah jika merubah sedikit penampilanku?” ujarku sambil memajukan bibirku beberapa senti.
“Hahaha, iya deh yang sekarang sudah menjadi mahasiswi. Tapi kau terlihat lebih---”
Belum selesai Guna berbicara, aku memotong ucapannya. “Cantik? Terima kasih hahaha. Sudah ah ayo berangkat, mau sampai kapan kita disini.”
Aku melihat raut wajah kesal Guna. Sebenarnya aku tahu kenapa ia begitu. Guna tidak suka jika pembicaraannya dipotong begitu saja. Tapi aku juga tahu, ia tidak pernah bisa marah lama-lama denganku. Aku langsung naik ke atas motor besar Guna. Memeluknya dari belakang dan berkata, “Maaf, jangan marah ya?” dengan wajah sedikit memelas dan dengan nada manjaku.
Aku melihat wajah Guna di spion motornya, ada satu senyuman mengembang disana. Senyuman khas Guna. Aku yakin wanita manapun tidak akan bisa menolak senyuman Guna dan aku adalah salah satu wanita yang beruntung yang bisa melihat senyum Guna setiap saat. “Kau selalu begitu.” ujarnya lalu menstater motornya.
Sesampai di kampus, lagi-lagi aku melihat orang-orang memandangi kami tidak enak. Aku juga tidak tahu mengapa. Aku bagaikan rusa yang diintai oleh sekian banyak harimau yang sedang kelaparan. “Sudah, tidak usah dihiraukan. Hampir setiap pagi kau terlihat ketakutan seperti itu.”
“Aku disini mahasiswa baru, Gun. Jelaslah aku merasa risih. Apa karna aku anak semester 1, makanya aku tidak boleh dekat-dekat dengan anak semester 3?”
“Hahahah, kau lucu sekali. Daripada kau terus menerus memikirkan mereka, lebih baik sekarang kau masuk kelas. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita, tidak usah dihiraukan.”
Aku hanya mengangguk mengerti mendengar ocehan Guna. Dia selalu berhasil membuatku lebih tenang. “Setelah kuliah, aku tunggu dikantin.”. Aku hanya tersenyum dan meninggalkan Guna sendirian di parkiran. Mataku mengedar ke seluruh penjuru kampus, mencari Rani temanku sejak SMA. Ia sahabat keduaku selain Guna. Guna juga tahu soal Rani. Bahkan kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama.
Dan akhirnya aku menemukan sosok Rani. Sedang berdiri didepan papan mading dan....ya, bersama kekasih hatinya Tama. “Rani!” teriakku memanggil Rani. Setengah berlari, aku menuju tempat Rani dan Tama. “Udah daritadi ya? Maaf lama, tadi----”
“Guna dan tatapan sinis itu lagi?” ujar Rani sambil tersenyum. Rani sudah sangat hafal dengan kegiatanku di pagi hari. Bagaimana tidak, aku tidak pernah absen menceritakan setiap detail hal yang aku lalui. Aku hanya menangguk dengan wajah sedikit lesu.
“Guna sudah sering bilang kan, jangan hiraukan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian, termasuk soal---”
Shut up, Rani!”
“Sayang, aku ke kelas duluan ya. Nanti pulang kuliah aku tunggu dikantin, bareng sama Guna kayaknya. Well, Mentari....kau tidak lupa kan kalau aku juga mengetahui salah satu rahasiamu?” Tama tiba-tiba angkat bicara. Nampaknya ia mulai tahu alur pembicaraan kami.
“Ku mohon, Tama jangan lakukan itu. Aku janji suatu saat nanti aku akan melakukannya tapi tidak sekarang.”
Tama tidak mendengarkan ucapanku. Setelah mencium kening Rani, ia langsung pergi begitu saja. Aku mendengus kesal dengan sikap pacar sahabatku ini.
“Pacarmu tuh.” omelku pada Rani.
“Hahaha, sudah. Yuk masuk kelas.”

Seusai jam kuliah, aku dan Rani segera menuju kantin. Hari ini adalah hari yang menyebalkan, 2 quiz dalam sehari. Aku dan Rani mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Saat ini pukul 12:00, wajar saja jika kantin penuh sesak. Bahkan kami harus sedikit menjijit untuk mencari Guna dan Tama. “Tuh mereka disana.” ujar Rani kemudian. Aku mengikuti langkah Rani. Beberapa meter dari tempatku dan Rani berdiri, aku melihat Tama dan Guna sedang asyik membicarakan sesuatu. Guna memperhatikan Tama sangat serius. “Ku mohon Tama, jangan lakukan itu.” batinku.
“Hai sayang.” sapa Rani pada Tama. Tama membalasnya dengan kecupan hangat di kening Rani. Aku hanya tersenyum melihat adegan bak ftv ini, sambil berkata dalam hati, “Kapan aku bisa merasakan itu?”
“Bagaimana kelasmu hari ini, Mentari?” ucapan Guna membuyarkan lamunanku.
“Menyebalkan.” ucapku singkat, lalu duduk disebelah Rani.
“Ada apa?” tanya Guna.
“Hari ini dikelas kami, ada quiz mendadak. Padahal baru kemarin kami menerima materi dari mereka.” Rani menjawab pertanyaan Guna. Aku meletakkan kedua tanganku diatas meja, dan menelungkupkan kepalaku disana. Tak lama, aku merasakan kepalaku dielus lembut. Aku menengadahkan kepalaku, dan ternyata Guna sudah merubah posisi duduknya. Kini ia sudah duduk disebelahku dan Rani berpindah tempat disebelah Tama.
“Begitulah mahasiswa, Mentari. Kesimpulannya setiap saat kau harus belajar, jadi bila ada quiz sewaktu-waktu, kau bisa dengan mudah menjawabnya.” ujar Guna sambil tersenyum.
“Aku sedang tidak ingin mendengar ceramahmu, Gun. Maaf.” ucapku seadanya, lalu menelungkupkan kepalaku lagi diatas tanganku.
Dua quiz hari ini berhasil merusak mood’ku. Padahal tadi pagi, aku sudah bersemangat berangkat kampus. Guna hanya tersenyum mendengar jawabanku. “Gun, sebenarnya tadi ada ingin aku bicarakan denganmu.”
Shock Therapy Tama sungguh berhasil membangunkanku. Aku melotot sejadi-jadinya ke arah Tama. Namun sepertinya Tama tidak menghiraukan kodeku itu. “Oh ya? Apa yang ingin kau bicarakan?” ujar Guna.
Aku melihat Tama ingin menjawab pertanyaan Guna tadi. “Gun, kita pulang sekarang ya. Aku benar-benar lelah hari ini.” ujarku cepat. Tama sedikit menoleh ke arahku dan aku bisa melihat itu, senyum kemenangan dari wajah Tama. Rani hanya menggelengkan kepala melihat ulah kekasihnya itu. Sepertinya ia tidak mau terlibat dengan urusan ini.
“Kenapa buru-buru, Mentari?” tanya Tama yang aku yakini itu hanyalah basa-basi.
“Aku sudah merindukan kasur dan bantal kesayanganku dirumah.” jawabku setengah memberikan senyum kesalku pada Tama.
“Sudahlah, Gun lebih baik kau antar Mentari sekarang. Kasian dia, wajahnya sudah lusuh begitu. Permbicaraanmu dengan Tama kan bisa dilanjut kapan-kapan.” sambung Rani.
Aku tersenyum puas mendengar ucapan Rani. Ia memang selalu menjadi penyelamatku, selain Guna. Guna nampak berpikir beberapa detik sambil melihat ke arahku. “Baiklah, ayo pulang.” ujarnya kemudian. Aku menghembuskan nafas lega saat ia mengiyakan ajakanku. Setelah berpamitan dengan Tama dan Rani, aku dan Guna segera menuju parkiran.
Sampai diparkiran, lagi-lagi pemandangan itu ku lihat. Namun kali ini, aku benar-benar tidak mau ambil pusing. Aku sudah cukup menyerah dengan hari ini. “Kau yakin ingin langsung pulang?” tanya Guna lagi.
“Ya.” jawabku singkat.
Guna tidak menjawab jawabanku tadi. Aku langsung menaiki motornya, memeluknya, menenggelamkan wajahku pada punggungnya dan menghirup aroma parfum yang masih menempel dibadannya.
Selang 30 menit, aku tiba dirumah. Ingin rasanya aku segera memeluk bantal gulingku yang empuk dan boneka teddy bear besar didalam kamarku. Aku turun dari motor Guna, belum mengatakan apa-apa Guna sudah angkat bicara. “Istirahatlah.” begitu katanya. Aku tersenyum mendengar pernyataan Guna, “Hati-hati.” ujarku kemudian.
                                                       ****
Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya. Biasanya Guna yang menungguku di kantin, tapi kali sebaliknya. Dia bilang masih ada urusan sedikit dikelas. Aku mengutak atik handphone’ku dengan asyiknya sampai-sampai aku tidak menyadari kehadiran Guna disana. Jika Rani tidak menyenggol sikutku, aku tidak akan lepas dari gadget’ku ini.
Aku terkejut melihat Guna datang dengan seorang wanita. Cantik, rambut panjangnya menjuntai dengan indah, kulitnya juga putih, sudah mirip dengan Miss Universe. “Mentari, maaf hari ini aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku ada urusan mendadak dengan Maudy.” begitu kata Guna. Aku melihat Guna sangat antusias hari ini. Rona bahagia begitu tampak di wajahnya. “Oh begitu, baiklah. Ran, aku pulang bareng ya?” ujarku sambil menoleh ke arah Rani. Rani hanya tersenyum. Aku mengartikannya sebagai ya. Tanpa berpamitan, Guna langsung meninggalkanku dengan Rani yang masih duduk diam. Aku menatap kepergian Guna, tidak biasanya dia seperti ini. Tapi sudahlah, mungkin urusannya memang benar-benar penting.

Malam harinya, Guna datang ke rumahku. Sudah biasa ia main dirumahku malam-malam. Biasanya kalau ia datang ke rumahku malam-malam pasti ada sesuatu yang ingin ia ceritakan.
“Kau pernah merasakan jatuh cinta?” ujarnya tiba-tiba. Aku langsung menghentikan aktivitas menontonku dan fokus mendengarnya berbicara.
“Kau bilang apa barusan?” tanyaku ulang.
“Kau pernah merasakan jatuh cinta?” ulang Guna.
“Kau sedang merasakannya?”
“Mungkin.” ujarnya singkat.
“Dengan Maudy?”
“Hahahah, kau sangat pandai menebak ternyata. Kau memang benar-benar sahabat yang paling mengertiku.” ujarnya sambil menepuk-nepuk pundakku.
Entah mengapa hatiku teriris mendengar jawaban Guna tadi. Ada rasa takut yang menyeruak dalam hatiku. Aku terdiam beberapa saat. “Gun, aku ngantuk. Bukan maksudku untuk mengusirmu, tapi----” aku sedikit berpikir, mencari alasan yang tepat untuk mengusir Guna secara halus.
“Baiklah, aku pulang dulu. Emm satu lagi, besok aku tidak bisa mengantarmu ke kampus karena----”
“Ya, aku mengerti. Sepertinya mulai besok jasa Pak Badrun sangat ku perlukan.”
Guna tertawa mendengar jawabanku. Bagaimana tidak, kedua orang tuaku memberiku fasilitas lengkap termasuk mobil dan supir namun aku tidak pernah menggunakannya karena Guna selalu menjemputku setiap pagi. Entah kalimat apa yang besok ku dengar dari mereka saat aku bilang bahwa Guna tidak (akan pernah) menjemputku.
Aku merebahkan badanku diatas kasur empukku sambil memeluk boneka teddy bear kesayanganku. Boneka ini pemberian dari Guna saat aku berusia 10 tahun, dan satu-satunya hadiah yang ia berikan untukku. Perkataan Guna tadi masih terekam jelas di otakku. Ia bilang ia sedang jatuh cinta, dan gadis beruntung yang mendapatkannya adalah Maudy. Bulir-bulir bening itu akhirnya jatuh. Aku mengeratkan pelukanku.
To: Rani (Work)
Ran, besok bolos kuliah yuk?
Lagi pula besok kan mata kuliah membosankan
Plisssss, kali ini saja. Aku ingin menceritakan sesuatu.
Saat ini aku membutuhkan sosok yang bisa mendengarkanku. Aku butuh sosok yang bisa menenangkanku. Dulu, Guna selalu menjadi sosok itu tapi sepertinya mulai besok semua akan berubah.
From: Rani (Work)
Oke, besok langsung ke kost’anku saja.
                                                       ****
“Dan akhirnya ketakutanku terwujud.” ucapku memecah keheningan.
Kini aku berada di kost’an Rani. Pagi-pagi betul aku sudah berangkat. Aku tidak ingin mendengar pertanyaan mama dan papa apa alasan Guna tidak menjemputku hari ini. Sebelum ke tempat Rani, aku membeli sejumlah makanan ringan plus minuman. Entah untuk apa, tapi aku merasa bahwa aku perlu membelinya.
“Sudah ku bilang berkali-kali padamu, kau harus mengatakannya.” jawab Rani lalu menyeruput minuman kotak yang aku beli tadi.
“Mengatakannya atau tidak, hasilnya akan tetap sama. Aku juga akan tetap kehilangan dia.”
“Tar---”
“Aku terlalu takut kehilangan dia, Ran. Sejak kecil aku selalu bersamanya, sampai akhirnya begini. Aku tidak bisa mengontrol semuanya.”
“Ini bukan salahmu, Tar.”
“Lalu salah siapa? Salah Guna?”
Tiba-tiba handphone Rani berbunyi. Tentu saja itu Tama. “Kau tidak ijin ya kalau hari kau bolos?” tanyaku. Rani menggeleng, “Aku bilang. Bahkan saat ku terima sms darimu, saat itu aku sedang bersamanya. Malah dia yang menyuruhku menerima ajakanmu, dia bilang kau sangat membutuhkanku saat ini dan sudah seharusnya aku ada disampingmu.Biar ku loudspeaker.”. Setelah itu, Rani menekan tombol loudspeaker. Di ujung telpon, terdengar suara sangat berisik sampai-sampai aku harus menutup telingaku.
“Halo?”
“Iya, ada apa sayang?”
“Ini aku Guna. Maaf aku menggunakan handphone pacarmu karna kau tau kan aku tidak punya nomor telponmu, yang ku punya hanya id linemu. Apa kau sedang bersama Mentari? Daritadi aku tidak bisa menghubunginya.”
Aku menggeleng ke arah Rani. Memberikan kode agar tidak memberi tahu Guna tentang keberadaanku. “Ya, tadi ia bersamaku namun hanya mengantarkan sarapan untukku setelah itu ia bilang akan pergi ke kampus. Kau sedang bertengkar dengannya?”
“Tidak, semua baik-baik saja. Baiklah, terima kasih kalau begitu. Semoga kau cepat sembuh.”
Saat telpon sudah benar-benar mati, bulir-bulir bening itu pun kembali melunjur bebas. Guna mencariku. Selama ini aku tidak pernah absen dari sampingnya. Aku selalu ada dimana pun ia berada, tapi tidak untuk hari ini. Aku ingin “menormalkan” hatiku dulu. Bertemu dengan Guna, justru malah membuatku semakin “tidak normal”.
“Dia mencarimu, Tar.”
“Hanya untuk menceritakan padaku bagaimana indahnya hari ini ia habiskan bersama calon kekasihnya. Atau bahkan saat ini mereka sudah resmi---Ran, aku menginap disini ya? Malam ini saja. Aku yakin Guna pasti akan mencariku dirumah.”
Rani hanya mengangguk. Seharian ini aku habiskan untuk menceritakan semua yang aku rasakan. Hanya Rani yang tahu isi hatiku, bahkan Guna yang sudah lebih lama mengenalku tidak tahu isi hatiku yang sebenarnya. Kebersamaan kami---kebersamaan seorang sahabat namun ia tidak pernah tahu rapuhnya perasaanku.
To: My Mom (Work)
Ma, hari ini Mentari tidur di kost’an Rani
Maaf Mentari baru memberi tahu mama sekarang
Kalau Guna mencari Mentari, mama bilang saja Mentari
sedang pergi ke rumah oma.
Mama nggak perlu khawatir sama Mentari, 
Mentari baik-baik aja.
Besok pagi Mentari pulang.

Aku menghentikan langkahku ketika sudah sampai didepan pagar. Aku melirik jam tanganku, baru pukul 6 pagi. Apa aku sedang berhalusinasi? Berulang kali aku mengucek mataku, namun hasilnya tetap sama. Sosok itu tetap berdiri tegak didepan terasku.
“Guna?”
“Kemana saja kau? Bbm, sms, telpon semuanya tidak bisa. Apa kau tahu sejak kemarin aku kebingungan mencarimu.”
Aku berusaha tegar. Berusaha menutupi apa yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tersenyum, ya tentunya senyum yang dipaksakan dan berharap Guna tidak membaca senyum palsuku ini. Kini, aku sudah berada tepat dihadapannya.
“Berlebihan.” ucapku singkat.
“Kau bilang berlebihan? Hei! Kau tidak ada dikampus, Tama bilang kau mau ke kost’an Rani tapi ternyata saat aku menelpon Rani kau sudah pergi dan bilang akan ke kampus, aku datang ke rumahmu tapi---”
“Mama bilang aku pergi ke rumah oma? Kau sudah tahu jawabannya lalu mengapa kau masih kebingungan mencariku? Dan sekarang kau lihat kan, aku berada dihadapanmu dalam keadan sehat tanpa kurang suatu apapun.”
Guna terdiam. Bahkan ia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku tadi. “Lalu mengapa kau tidak memberi tahuku bahwa kau pergi ke rumah oma?” tanyanya kemudian.
“Aku lupa. Maaf.” jawabku singkat.
“Kau tidak sedang berusaha menghindariku kan?”
Deg! Pertanyaan itu. Kenapa bisa pertanyaan semacam itu keluar dari mulutnya. Aku memalingkan wajahku. Suasana pagi ini sejuk, namun terasa panas bagi tubuhku. “Beri aku satu alasan mengapa aku harus menghindarimu?”
Guna diam beberapa saat, seperti orang yang sedang berpikir. “Mungkin....karna kau cemburu pada Maudy?” ujarnya kemudian. Hatiku makin teriris mendengar jawaban itu. Maudy, maudy, dan maudy. Nampaknya nama itu akan selalu ada di setiap pembicaraanku pada Guna dan akan berawal sejak hari ini.
“Untuk apa aku cemburu pada calon kekasihmu?” tanyaku seedikit gugup.
“Entahlah. Hanya kau yang bisa menjawabnya.”
“Pertanyaan bodoh.” jawabku sambil tersenyum sinis. “Sekarang kau sudah melihatku bukan? Ini juga masih pagi, pulanglah, aku ingin melanjutkan tidurku.”
“Kau mengusirku?”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Masih dengan senyum palsu. Aku maju selangkah, lalu memeluk tubuh Guna. Pelukan “persahabatan”.
“Kau tahu, kemarin adalah hari terberat untukku. Yang aku butuhkan saat ini adalah istirahat.” aku melepaskan pelukanku. “Kau mengerti kan, Gun?”
“Apa kau sedang punya masalah?”
Aku menggeleng. “Kau bisa datang lagi nanti malam.”
“Dan semoga nanti malam, wajahmu sudah tidak selusuh ini.”. Jawaban Guna membuatku tertawa. “Aku begini juga karnamu, Gun.” batinku.

Malam harinya Guna benar-benar datang. Sepertinya ia mulai mencurigai ada sesuatu yang aneh pada diriku. “Ikut aku.” begitu katanya saat aku baru membuka kan pintu rumah. Belum sempat aku menjawab, ia sudah ‘menyeret’ku masuk kedalam mobilnya. Bahkan saat ini, aku masih menggunakan baju tidurku dengan rambut dicepol. Sampai akhirnya, kini aku dan dia berada dipinggir danau. Tempat yang sangat sering kita datangi. Biasanya kami naik perahu ke tengah danau tapi kali ini tidak karena matahari sudah kembali ke peraduannya.
Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Menikmati semilir angin di danau ini.
“Kau masih tidak ingin menceritakan masalahmu padaku?” ucapan Guna membuatku langsung menoleh ke arahnya.
“Aku tidak sedang punya masalah.” ujarku berbohong.
“Sungguh?”
“Ya. Kau mengenalku sudah lama, Gun. Setiap kali aku sedang ada masalah, aku selalu menceritakan semuanya padamu bukan? Bahkan kau adalah orang pertama yang tahu tentang masalahku.”
“Kau tidak sedang berbohong padaku kan?”
“Tidak. Aku benar-benar sedang tidak punya masalah.”
Guna memang selalu tahu setiap detail masalah yang aku hadapi. Dia selalu memberiku masukan dan bahkan membantuku menyelesaikan masalah. Tapi tidak untuk kali ini. Aku tidak ingin Guna tahu tentang hatiku. Aku tidak mau Guna tahu betapa hancurnya aku melihat kedekatannya dengan Maudy. Aku tidak mau merusak kebahagiaan Guna.
                                                       ****
Pagi ini lagi dan lagi aku tidak dijemput oleh Guna. Aku memutuskan untuk membawa mobil sendiri. Sebelum menuju kampus, aku menjemput Rani ke kost’annya. Kami memang sudah membuat janji akan berangkat kuliah bersama.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kampus. Dan akhirnya aku menemukan sosok itu. Duduk di pelataran kampus sambil memegang gitarnya. Tampan. Dan disampingnya....Maudy. Mereka tertawa lepas. Sampai akhirnya Guna, melihatku sedang berdiri memperhatikannya.
“Ran, kita lewat sebelah sana saja.” Aku langsung berjalan ke arah lain. Sebisa mungkin aku tidak melewati mereka. Melihatnya saja, sudah membuatku sakit. Tidak, hari ini aku tidak boleh menangis. Hari ini adalah Dies Natalis kampusku, tentunya aku akan berlama-lama di kampus karna perayaan itu. Saat acara puncak, Guna akan tampil sebagai pengisi acara berduet dengan Maudy.
Aku mengajak Rani menuju lantai 7 gedung kampusku. Disana sangat sepi dan bahkan tidak pernah ada mahasiswa ke lantai itu.
“Kemarin aku melihat iklan beasiswa ke Korea.” ujarku memecah keheningan.
“Lalu?”
“Aku ingin mencobanya, siapa tahu aku bisa mendapatkan beasiswa itu.”
“Dan jika pengajuanmu di terima, kau akan mengambilnya dan pergi ke Korea sekaligus untuk melupakan Guna. Begitu?”
“Hanya itu cara supaya aku bisa lepas dari bayang-bayang Guna.”
“Lari dari kenyataan.”
Belum sempat aku menimpali perkataan Rani, handphone’ku berbunyi. Nama GUNA muncul dilayar handphone’ku.
“Kau dimana?” ucap Guna saat aku baru menekan tombol hijau dan belum sempat berkata ‘hallo’.
“Kantin.” jawabku berbohong.
“Bohong! Saat ini aku sedang di kantin, dan kau tidak ada. Cepat katakan dimana kau sekarang?!”
“Sial!!” batinku. “Lantai 7.” Setelah itu telpon terputus. Aku yakin, Guna pasti langsung menyusulku kemari. Dan benar saja tidak sampai 10 menit, ia keluar dari lift tepat disaat aku selesai menghapus air mataku.
“Apa yang kalian lakukan disini?”
“Mencari ketenangan. Dibawah terlalu berisik, sibuk menyiapkan acara untuk nanti malam. Kau pengisi acara, seharusnya kau sedang check sound saat ini.” ucap Rani.
“Memangnya apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Guna sambil mengerutkan keningnya.
“Pengajuan beasiswa Mentari ke Korea.” jawab Rani.
Aku langsung mencubit perut Rani. Guna belum tahu soal ini dan dengan polosnya Rani membocorkannya. Habislah aku setelah ini, Guna pasti akan mengintrogasiku panjang lebar.
Tepat setelah Rani menjawab pertanyaan Guna, Guna langsung diam seribu bahasa. Aku tahu Guna pasti terkejut karna justru ia tahu mengenai beasiswa itu dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri. “Nanti ku jelaskan. Turunlah, kau harus check sound.” ucapku kemudian dan Guna langsung pergi begitu saja.

Kini saatnya Guna dan Maudy tampil. Guna terlihat tampan menggunakan kemeja putih yang digulung setengah lengan, begitu juga dengan Maudy. Mengenakan mini dress merah maroon, rambut panjangnya ia curly. Mereka nampak....serasi. Membawakan lagu dari Tulus yang berjudul Mengagumimu dari Jauh. Aku rasa Guna sengaja memilih lagu itu karna lagu itu sangat jelas menggambarkan isi hatinya pada Maudy. Tama, Rani, dan penonton lainnya begitu menikmati alunan melodi dan suara merdu mereka. Kecuali aku. Kedua mata mereka tidak bisa dibohongi. Mata yang sedang jatuh cinta. Mana mungkin aku tega merusak kebahagiaan Guna.
Tepat saat lagu berakhir, air mataku tak terbendung lagi. Aku langsung berlari keluar dari kerumunan penonton. Aku menangis sejadinya didalam kamar mandi. Perih. Sekian tahun aku memendam rasa ini pada Guna. Sekarang senyuman Guna bukan hanya untukku tapi juga untuk Maudy, tawa Guna juga untuk Maudy.
Keluar dari kamar mandi, tiba-tiba ada seseorang langsung menarik tanganku. Ya, itu Guna. Sejak kapan ia didepan kamar mandi dan apa ia mendengar tangisku tadi. Guna menarik tanganku sangat kencang. “Guna sakit.” ujarku namun sepertinya Guna tidak menghiraukan. Ia terus menarik tanganku dan membawaku ke belakang kampus. Akhirnya Guna melepaskan genggamannya. “Arghh...sakit, Gun!” protesku sambil melihat pergelangan tanganku yang memerah, namun lagi-lagi Guna hanya diam. Sebenarnya aku tahu apa maksud dan tujuan Guna membawaku kemari.
“Beasiswa ke Korea?” ujarnya kemudian.
Aku menatap Guna. Pandangannya lurus ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Gun---”
“Kau tidak pernah menceritakan tentang itu padaku.” potongnya dengan nada sedikit meninggi hingga aku memejamkan mata. Hening kembali menyeruak. Aku bingung ingin menjelaskan apa pada Guna. Aku tidak mungkin mengungkapkan apa alasanku mengajukan beasiswa itu. “Kau bilang, aku adalah orang pertama yang akan tahu segalanya tentangmu tapi buktinya? Aku malah mendengarnya dari orang lain.” lanjut Guna masih dengan pandangan lurusnya.
“Kau hari ini sangat sibuk, aku tidak mungkin mengganggu aktivitasmu.”
“Jika pengajuanmu itu diterima, apa kau akan mengambilnya?” akhirnya Guna menatapku. Matanya tajam menusuk. Aku suka mata itu. Bola mata hitam pekat dengan bulu mata lentik. Mempesona.
“Tentu. Bukankah kesempatan emas itu tidak akan datang dua kali?” jawabku mantap.
Guna tidak menjawab. Ia berdiri lalu pergi tempatnya duduk. “Maafkan aku, Guna.” ujarku saat Guna sudah benar-benar jauh. Lagi-lagi butir-butir bening itu tidak bisa ku tahan.
                                                       ****
“Pengajuan beasiswaku diterima, Ran.”
Kini aku dan Rani lagi-lagi berada di lantai 7. Lantai yang penuh dengan keheningan. Kemarin aku mendapat email bahwa pengajuan beasiswaku di terima. Senang sekaligus sedih. Akhirnya aku benar-benar harus melepaskan Guna.
“Kapan kau berangkat?” tanya Rani.
“Besok, pesawat jam 7 pagi.”
“Sepagi itu? Guna tahu?”
Aku menggeleng. Semenjak kejadian malam itu, hubunganku dan Guna menjadi merenggang. Mungkin rasa kecewa Guna terlalu besar. Ia selalu menghindar setiap kali melihatku. Ia selalu menyibukkan dirinya dengan berbagai aktivitas kampus setiap kali aku mengajakya menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya aku tidak tahan namun aku harus bertahan. Aku menganggapnya sebagai latihan awal jika nantinya pengajuanku diterima. Dan ternyata, pengajuanku benar diterima.
“Kau harus memberitahunya. Kau tidak memberitahunya saat kau diam-diam mengajukan beasiswa ke Korea, dan sekarang kau mau tidak memberitahunya lagi?”

Sudah lebih dari satu jam aku mengelilingi kampus mencari sosok Guna. Teman satu kelasnya berkata bahwa Guna sudah keluar kelas sejak tadi. Karna kelelahan, aku memutuskan untuk duduk di taman belakang kampus. Aku sibuk dengan handphone’ku untuk menghubungi Guna dan menanyakan keberadaannya. Langkahku terhenti saat aku melihat sosok Guna ada ditaman belakang kampus dan ia sedang bersama....Maudy.
Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba.....kedua wajah mereka semakin dekat dan semakin dekat, hingga akhirnya....Aku melihatnya jelas. Tepat didepan mataku. Aku diam terpaku beberapa detik mencerna apa yang barusan aku lihat lalu berbalik badan dan berlari sekencang mungkin. Hatiku remuk. Hancur. Bahkan aku tidak memperdulikan teriakan orang-orang yang tidak sengaja aku tabrak. Air mataku terlalu deras mengucur. Beruntung hari ini aku diantar Pak Badrun ke kampus.
“Mentari?!” suara Rani. Aku hafal betul suaranya. Namun aku tak menghiraukan teriakan Rani. Yang aku butuhkan saat ini adalah sampai ke parkiran dan masuk ke dalam mobil lalu pergi dari kampus ini. Aku tidak peduli sebentar lagi aku masih ada kelas kedua. Aku bahkan tidak tahu jika aku tetap memaksakan ikut kelas kedua, apa aku mampu mencerna dan menerima penjelasan dosen.
“Pak, kita pulang sekarang.” ujarku pada Pak Badrun. Terlihat sekali Pak Badrun terkejut melihatku datang dengan kucuran air mata. Tanpa banyak bicara, Pak Badrun langsung masuk ke dalam mobil. Saat akan masuk mobil, tangan seseorang menahanku. “Kau kenapa?” Aku langsung memeluk erat tubuh sahabatku itu. Ia mengerti kesedihanku. Akhirnya aku menyuruh Rani ikut ke rumahku.
“Apa yang terjadi, Mentari?” tanya Rani saat melihatku sudah sedikit tenang walaupun masih mengeluarkan air mata.
“Mereka....mereka berciuman didepan mataku.” jawabku sambil sesenggukan. Rani langsung memelukku. “Kau pasti hancur. Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini. Menangislah jika itu membuatmu tenang.”
                                                       ****
“Kau tidak ingin menghubungi Guna?” tanya Tama. Hari ini aku diantar Rani dan Tama ke bandara. Akhirnya hari yang ku tunggu datang. Hari dimana aku akan melepaskan cintaku. Salah. Melepaskan cinta tak terbalasku.
“Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Guna.” “Terima kasih kalian sudah mengantarku ke bandara. Sampaikan salamku pada Guna.” “Aku pasti akan merindukan kalian.” Aku memeluk Tama, lalu Rani. Sebelum melepaskan pelukannya, Rani berkata, “Kau pasti kuat. Jaga dirimu baik-baik disana.”
“Pasti. Main-mainlah jika sedang libur.” setelah itu aku melepaskan pelukanku.

There I was again tonight, forcing laughter, faking smiles
Same old, tired lonely place
Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy
Vanished when I saw your face
All I can say is it was enchanting to meet you
Your eyes whispered, "Have we met?" across the room, your silhouette
Starts to make its way to me
The playful conversation starts, counter all your quick remarks
Like passing notes in secrecy
And it was enchanting to meet you
All I can say is I was enchanted to meet you
This night is sparkling, don't you let it go
I'm wonder-struck, blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
I was enchanted to meet you
The lingering question kept me up, 2 a.m., who do you love?
I wonder 'till I'm wide awake
Now I'm pacing back and forth, wishing you were at my door
I'd open up and you would say Heyyy
It was enchanting to meet you
All I know is I was enchanted to meet you
This night is sparkling, don't you let it go
I'm wonder-struck, blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
This night is flawless, don't you let it go
I'm wonder-struck, dancing around all alone
I'll spend forever wondering if you knew
I was enchanted to meet you
This is me praying that
This was the very first page, not where the storyline ends
My thoughts will echo your name until I see you again
These are the words I held back as I was leaving too soon
I was enchanted to meet you
Please don't be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you
Please don't be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you
                                                       ****
“Akhirnya aku menemukan kalian.” ujar Guna saat berhasil menemukan dua orang yang sedari tadi dicarinya.
“Ada apa, Gun?” tanya Rani.
“Sudah dua hari aku tidak melihat Mentari dikampus. Handphone’nya juga tidak aktif, rumahnya pun sepi.”
“Untuk apa kau mencari Mentari? Apa ada sesuatu yang penting?” sambung Tama.
“Kalian tahu sesuatu tentang Mentari?”
“Dua hari yang lalu ia terbang ke Korea. Pengajuan beasiswanya diterima dan ia harus segera mengurus segala administrasinya disana. Ia juga sudah mencoba menghubungi handphone’mu tapi selalu tidak aktif. Kau dapat salam darinya.” jawab Rani.
Guna terdiam mendengar jawaban Rani. Senyum cerahnya pudar seketika. “Mengapa kalian tidak memberitahuku?!” Guna mulai emosi. “Hey! Kau tidak perlu membentak kekasihku seperti itu! Kenapa?! Kau merasa kehilangan? Bukankah kau sudah tidak membutuhkannya, toh saat ini kau sudah mempunyai Maudy. Kau sangat bodoh, Gun.”
“Apa maksudmu?!” Emosi Guna semakin memuncak.
“Kau sudah bersahabat lama dengan Mentari, namun kau belum tahu semua tentangnya, sedangkan Mentari apapun tentang dirimu dia pasti tahu.”
“Aku tahu semua tentangnya!”
“Baiklah, kalau begitu jawab pertanyaanku. Siapa lelaki yang saat ini dicintai Mentari?”
Guna terdiam. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Guna sendiri juga tidak pernah menanyakan hal itu pada Mentari.
“Kau tidak bisa menjawabnya?”
“Mentari mencintaimu, Gun.” sambung Rani. “Kau adalah sahabat sekaligus cinta Mentari. Mentari terlalu takut kehilanganmu, karna itu ia lebih memilih untuk menyimpan perasaannya.  Ternyata kenyataan berkata lain. Tanpa mengatakannya pun, Mentari juga akan kehilanganmu. Dan kau tahu mengapa Mentari mengajukan beasiswa ke Korea? Itu semua karnamu. Ia tidak mau merusak kebahagianmu dengan Maudy. Ia lebih memilih mengalah demi kebahagianmu.”
Guna pergi begitu saja saat Rani selesai memberikan penjelasannya. Lebih tepatnya membongkar semua isi hati Mentari. Tama dan Rani membiarkan kepergian Guna. Bukan karena mereka tidak peduli pada Guna, namun mereka hanya ingin memberi waktu Guna untuk merenungkan semuanya. Tama dan Rani tahu, Guna pasti sangat terpukul mendengar Mentari sudah tidak bisa lagi disisinya kapanpun ia mau. Jarak dan waktu memisahkan mereka.

Guna duduk termenung di taman belakang kampus. Ia masih tidak menyangka, Mentari meninggalkannya tanpa pamit. Tama yang melihat sahabatnya itu pun merasa iba. Ia menghampiri Guna, walaupun Tama tahu kehadirannya saat ini tidak diharapkan oleh Guna.
“Kau sendiri yang membuatnya pergi, Gun. Percuma kau menyesalinya saat ini.”
“Aku memang bodoh. Benar-benar bodoh.”
“Tidak ada gunanya saat ini kau menyalahkan dirimu sendiri. Semua sudah terjadi. Mentari sudah memilih jalan hidupnya.”
“Tiga hari yang lalu, Maudy mengungkapkan perasaannya padaku di tempat ini.”
“Lalu?”
“Kami berciuman.”
“APA??!” Tama sebenarnya sudah tahu akan hal itu. Ya, Rani yang menceritakannya. Namun ia tidak mungkin mengatakan bahwa Mentari melihat mereka saat itu. Tama tidak membayangkan apa yang akan terjadi jika Guna tahu akan hal itu.
“Kau tahu apa yang aku rasakan saat itu?” “Tiba-tiba aku merasa Mentari ada dibelakangku. Aku melepaskan ciuman itu. Setelah ku tengok ke belakang, ternyata tidak ada orang.”
“Dan kau menerima Maudy?”

“Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Gun.”
“Katakanlah.”
“Kau tahu, kau adalah laki-laki pertama yang dekat denganku. Selama ini aku selalu menutup diri dari laki-laki. Tapi entah mengapa, pertama kali aku bertemu denganmu, aku merasa kau bisa menjagaku.”
“Maksudmu?”
“Aku menyukai, Gun.”
Bagai disambar petir, Guna tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Maudy menyatakan perasaannya pada Guna. Selang beberapa menit, tiba-tiba Maudy mencium bibir Guna. Guna terkejut, ia langsung menarik dirinya.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Maaf. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu.”
“Aku tidak bisa. Aku harus pergi sekarang.”
“Tidak. Ciuman itu terasa hambar. Aku tidak merasakan ada cinta disana. Berbeda ketika Mentari mencium pipiku sewaktu kita masih SMA. Waktu itu aku sedang marah padanya karna ia pulang larut malam, sampai-sampai kedua orang tuanya kebingungan mencarinya. Aku menemukan Mentari ditengah jalan sedang diganggu oleh preman. Setelah menghajar habis preman-preman itu, aku marah besar pada Mentari padahal sebelumnya aku tidak pernah semarah itu pada Mentari. Tiba-tiba ia mencium pipiku dan mengucapkan terima kasih karna sudah menolongnya.” “Awalnya ku kira, aku benar-benar jatuh cinta pada Maudy, tapi ternyata aku salah. Bukan Maudy orang aku cintai.”
“Gadis itu....Mentari?”
“Aku tidak berniat membuatnya benar-benar pergi dariku. Aku tahu aku salah, karna rasa kecewaku waktu itu. Sungguh sebenarnya aku rindu menghabiskan waktu bersamanya, tapi egoku terlalu besar. Sampai akhirnya...sekarang aku benar-benar kehilangan Mentari.” “Apa kau tahu kapan Mentari kembali?”
“Tidak. Mentari tidak mengatakan kapan ia kembali. Mungkin ia butuh waktu entah sampai kapan agar hatinya benar-benar pulih.”
                                                       ****
DUA TAHUN KEMUDIAN
Aku sedang menikmati ‘liburan’ indahku di Korea Selatan. Setelah seharian disibukkan dengan aktivitas kuliahku akhirnya aku dapat menikmati indahnya kota Seoul malam ini. Dengan membawa kamera DSLR’ku, aku tidak ingin menyia-nyiakan keindahan kota Seoul. Sejak SMA, aku memang berangan-angan ingin ke Korea. Aku berharap dapat bertemu idolaku, D.O “EXO”.
Saat ini aku sedang berada di Cheonggyecheon Stream. Kata orang-orang, Cheonggyecheon Stream adalah tempat paling romantis untuk melamar kekasih. Tidak heran, sedari tadi yang ku lihat adalah sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta.
KRIK! KRIK! aku masih asyik dengan kamera mencari obyek-obyek bagus. Saat aku ingin mencari obyek lain, tiba-tiba aku melihat sosok yang ku kenal dari kamera. Aku meletakkan kameraku sejenak. Sosok itu ada disana. Sosok yang aku rindukan setelah dua tahun tidak bertemu. Aku masih tidak mempercayai apa yang ku lihat saat ini, hingga akhirnya, “Kau tidak ingin memeluk sahabatmu ini? Apa kau tidak merindukanku?”
Akhirnya aku melihatnya. Adguna Putra. Dengan langkah cepatnya, Guna menghampiriku yang masih bengong menatapnya. Setelah Guna berada tepat dihadapanku, aku langsung memeluknya erat. Begitu juga Guna, ia membalas pelukanku sambil mengelus rambutku.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Seharusnya yang kau tanyakan adalah kapan aku tiba disini bukan menanyakan apa yang sedang aku lakukan disini.”
Aku tersenyum sambil menahan tawa mendengar jawaban Guna.
“Baiklah. Kapan kau tiba disini?”
“Tadi pagi.”
“Sendirian?”
“Apa kau melihatku sedang bersama orang lain?” Ia masih Guna yang sama. Guna yang aku kenal, dan Guna yang......(masih) ku cintai.
Hening. Kami memutuskan untuk duduk dipinggir sungai untuk menikmati indahnya malam di kota Seoul. “Bagaimana kabarmu?” tanya Guna memecah keheningan.
“Baik, kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat.” “Aku sudah di wisuda.”
“Sungguh? Selamat. Aku turut bahagia.”
“Kau tahu, saat aku di wisuda aku sangat mengharapkan kau ada disana. Tapi aku tahu itu sangat mustahil.” “Mengapa kau tidak menemuiku sebelum kau berangkat?”
Aku bingung harus menjawab apa. “Apa kabar Tama dan Rani?” ujarku mengalihkan pembicaraaan.
“Jawab dulu pertanyaanku.”
Aku tidak bisa menghindar. Guna selalu begitu, untuk kali ini aku gagal mengalihkan Guna. “Waktu itu aku sudah mencarimu ke seluruh penjuru kampus tapi kau sudah tidak ada. Aku tanya ke beberapa teman sekelasmu, mereka bilang kau sudah keluar kelas. Aku juga mencoba menghubungimu tapi nomormu tidak aktif.” “Sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku tadi.”
“Mereka berdua baik-baik saja. Sebentar lagi mereka akan bertunangan dan kau diundang, mereka menambahkan kau harus dan wajib datang.”
“Pasti.” ujarku semangat. “Lalu kau? Bagaimana kau dengan  Maudy?”
“Hahahah.”
“Mengapa kau tertawa? Ada yang lucu?”
“Kau tahu, aku tidak pernah mempunyai hubungan khusus dengan Maudy.”
“Apa?! Tapi waktu itu kau bilang kau jatuh cinta padanya.”
“Memang. Tapi setelah itu, aku jatuh cinta pada wanita lain.”
Aku patah hati untuk kedua kalinya. Jadi Guna menemuiku hanya untuk menceritakan bahwa ia jatuh cinta pada wanita lain. Sungguh beruntung wanita itu.
“Dua kali kau membuatku kecewa, Mentari.”
“Maksudmu?”
“Pertama, kau tidak menceritakan padaku soal beasiswamu ini. Kedua, kau tidak pernah jujur kepadaku soal perasaanmu.”
Aku menghentikan aktivitas memotretku seketika saat mendengar ucapan Guna. “Mengapa kau tidak pernah mengatakannya, Mentari?” ujar Guna sambil menatap mataku. Mata yang sangat aku rindukan, akhirnya aku melihatnya lagi. Mungkin ini memang sudah saatnya Guna mengetahui semuanya. Aku sendiri juga tidak mungkin memendamnya terus menerus.
“Karna aku takut kehilanganmu. Aku sudah cukup bahagia bisa berada disampingmu setiap saat walau kau tidak pernah tahu apa yang aku rasakan.”
“Kau bilang kau bahagia didekatku walau aku tidak mengetahuinya? Tapi saat ini kau berada di Korea, jauh dariku.”
“Aku tidak ingin merusak kebahagianmu dengan Maudy. Semenjak kau mengenalnya, kau berubah. Waktumu hanya untuk Maudy, bahkan kau lebih memilih menunggu Maudy yang sedang rapat BEM saat aku mengajakmu pergi ke danau. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Didepanmu aku tersenyum, aku mengatakan tidak apa-apa. Tapi apa kau tahu saat di danau apa yang terjadi padaku?” aku berusaha menahan air mataku ketika mengingat semua kejadian pahit itu. Akhirnya aku harus mengorek luka itu lagi, luka yang sudah dua tahun ini aku pendam.
Tiba-tiba...cup. Guna menciumku. Didepan umum. Ciuman pertamaku. Cukup lama, hingga akhirnya aku menarik diriku. Nafasku masih tidak beraturan. Guna menatapku dengan wajah penuh kemenangan. “Apa yang kau lakukan?!” ucapku pada Guna penuh emosi.
“Kau marah? Apa aku salah mencium wanita yang aku cintai?” ujar Guna dengan wajah tidak bersalah.
“Apa?!”
Apa yang Guna katakan saat ini. Entah dapat dari mana kalimat itu. Mungkin ia sedang kemasukan jin tempat ini atau...KLIK. Guna menjentikan jarinya tepat didepan mataku.
“Kau bilang wanita yang kau cintai?” kataku saat tersadar dari lamunan.
“Aku mencintaimu. Lebih dari cinta seorang sahabat. Aku ingin kau selalu ada bersamaku.” “Will you marry me?” ucap Guna sambil mengeluarkan kotak kecil berisi cincin dari dalam saku celananya. “Aku bukanlah tipe cowok romantis. Aku lebih suka mengutarakannya secara langsung. Kau mau?”
Aku tidak berkedip. Bagaikan mimpi. Aku menjiwit tanganku sendiri, dan ini bukan mimpi. Guna tertawa melihatku melakukan itu. “Kau tidak sedang bermimpi-----sayang.”
Aku tersenyum. Ya, aku  memang sedang tidak bermimpi. Aku memeluk Guna erat dan membisikan, “Ya, aku mau. Bagaimana mungkin aku bisa menolakmu.”. Lalu Guna menjawab, “Terima kasih. Maaf aku sudah membuatmu terluka begitu lama.”

Last night I heard my own heart beating
Sounded like footsteps on my stairs
Six months gone and I'm still reaching
Even though I know you're not there
I was playing back a thousand memories, baby
Thinking 'bout everything we've been through
Maybe I've been going back too much lately
When time stood still and I had you

Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now

I know people change and these things happen
But I remember how it was back then
Wrapped up in your arms and our friends were laughing
'Cause nothing like this ever happened to them,
Now I'm pacing down the hall, chasing down your street
Flashback to the night when you said to me,
"Nothing's gonna change, not for me and you
Not before I knew how much I had to lose"

Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now

If you're out there,
If you're somewhere,
If you're moving on,
I've been waiting for you.
Ever since you've been gone
I just want it back the way it was before.
And I just wanna see you back at my front door.
And I say

Come back, come back, come back to me like
You would before you said it's not that easy
Before the fight, before I locked you out
But I take it all back now

Come back, come back, come back to me like
You would, you would if this was a movie
Stand in the rain outside 'til I came out
Come back, come back, come back to me like
You could, you could if you just said you're sorry
I know that we could work it out somehow
But if this was a movie you'd be here by now

You'd be here by now
It's not the kind of ending you wanna see now
Baby, what about the ending
Oh, I thought you'd be here by now, whoa
Thought you'd be here by now
                                                                   ****