Jumat, 18 Juli 2014

PERTEMUAN KEDUA

 “Kaylaaaaaa!! Lo dimana sekarang? Urgent nih urgent!!”
Aku melirik jam wekerku, baru menunjukkan pukul enam pagi. Andita memang selalu sukses mengacaukan hari mingguku.
“Menurut lo jam segini dihari minggu gue ada dimana hah?”
“Sapa tau aja lo udah pergi ke tempat Tian. Lo kan selalu rajin kesana.”
“Urgent apaan sih?”
“5 menit lagi gue on the way ke rumah lo. Siap-siap ya. Habis dari tempat Tian, lo temenin gue ke rumah Pak Akbar ya?”
“Ngapain lo pagi-pagi ke rumah Pak Akbar?”
“Ntar aja gue jelasin. Bye!”
OMG!! Susah emang musuh cewek super ribet model Andita. Nolak ajakannya salah, apalagi nggak nolak. Tapi mau gimana pun dia sahabatku, sahabat terbaikku. Dia yang selalu ada buat aku kapanpun dan dimanapun. Dia orang pertama yang tau tentang semua yang aku rasain. Bahkan untuk berbohong didepan Andita pun aku nggak bisa. Temen-temen kita bahkan bilang kalau kita itu sepaket. Dimana ada aku disitu selalu ada Andita, begitu juga sebaliknya.
“Selalu gini deh ya. Bilangnya 5 menit lagi on the way tapi sampe sekarang nggak nyampe juga.” gerutuku sejak tadi.
Yaps, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat dan sampe detik ini, menit ini, jam ini, Andita belum juga datang. Sudah lewat 4 jam yang lalu sejak dia berhasil menghancurkan mimpi indahku. Ngaret dan selalu ngaret. Kalau tahu begini kan mending tidur lagi.
Baru saja aku akan melangkah ke kamar, suara cempreng itu muncul. “Hai, Kay. Lama ya?” ujarnya kemudian. Andita emang bener-bener makhluk tanpa dosa yang diutus Tuhan untuk masuk dalam hidupku.
“Menurut lo? Gila ya, 4 jam Dit 4 jam!!”
“Heheh maaf deh. Berangkat yuk, ke tempat Tian dulu kan?”
Aku hanya mengangguk.
****


Di tempat yang sunyi ini. Disini aku bertemu dengan dia untuk kesekian kalinya. Dia yang menjadi inspirasiku dulu saat aku baru merasakan bangku perkuliahan. Tepatnya dua tahun yang lalu.
“Hai, Tian. Maaf ya aku baru kesininya siang, ini nih si Dita ngaret. Dia bangunin aku jam 6 pagi katanya sih mau ke rumah Pak Akbar eh taunya nyampe rumah jam 10. Nyebelin kan?” Aku menelan ludah, menghembuskan napas panjang, dan berusaha untuk tidak mengeluarkan air mataku ditempat ini sambil menaburkan bunga di peristirahatan Tian.
“Oh ya, aku berencana menulis novel lagi tapi sampai detik ini aku masih bingung cerita apa yang akan aku buat. Doain aku ya, supaya bisa dapet inspirasi lagi dan nerbitin novel kedua aku.”
Aku merasakan tangan Dita merengkuh bahuku.
“Kita pulang, Kay.”
“Tapi gue masih kangen sama Tian. Udah seminggu gue nggak kesini.”
“Gue tau, tapi lo masih inget janji lo tadi pagi kan?”
Aku menghembuskan napas panjang (lagi). “Maaf ya Tian, kali ini aku nggak bisa lama-lama. Kalo ada waktu luang lagi, aku pasti kesini kok. Bye.”
                                                       ****
Alih-alih mengajakku ke rumah Pak Akbar, Dita malah membelokan mobil ke salah satu mall. Harusnya dari awal aku bisa menduga maksud dan tujuan Andita. Lagi-lagi aku berhasil dibohongi. Shit!!
“Mau ngapain di mall?”
“Nemenin gue shopping heheh.”
“Lo bilang tadi mau ke rumah Pak Akbar?”
“Sori, Kay gue bohong. Habis kalo nggak gitu, lo mana mau nemenin gue shopping hari minggu gini. Lo pasti milih buat tidur seharian daripada nemenin gue, ya kan?”
Andita emang bener-bener absurd. Kalo udah gini mana mungkin aku maki-maki dia. Semua udah terlanjur, nasi udah jadi bubur. Lagi pula nggak ada salahnya sih nemenin Andita shopping toh juga aku bisa belanja.
Mulai dari toko baju, toko accesories, toko sepatu, toko tas, semua toko yang ada di mall kita masukin satu-satu. Yah, walaupun cuma liat-liat doang. Sebenernya kita sendiri juga bingung apa yang pengen dibeli. Semua barang bagus, semua barang lucu, tapi nggak mungkin kan kita beli semua. Itu yang bikin lama, mikir mau beli apa enggak. Walaupun hati nurani rasanya pengen banget beli semua barang yang ada disana, tapi apa daya kalau dompet cuma menyisakan beberapa lembar saja..
Sedang asik-asiknya melihat kacamata disalah satu toko, aku mendengar suara ribut dari depan toko. Setengah berlari, aku keluar dari toko. Di tengah koridor aku melihat Andita sedang berdebat dengan seorang laki-laki bertubuh jangkung.
“Ada apaan sih, Dit?”
“Dia temen lo?” sahut seseorang disamping Andita.
“Iya, kenapa emang?”
“Kasih tau nih ya sama temen lo yang satu ini, kalo jalan tuh pake mata. Liat nih minuman gue tumpah gara-gara ditabrak dia.”
“Gue nggak sengaja, Kay. Lagian dia juga jalan sambil main handphone, dan gue lagi ngeliat baju yang dipasang didisplay toko ini. Gue nggak tau kalo ada orang.”
“Tuh, lo denger sendiri kan apa kata temen gue. Lagian masalah gini aja dibesar-besarin. Lebay deh lo jadi orang.”
“Apa lo bilang? Gue lebay? Lo nggak liat baju gue basah?”
“Sini lo!!”
Dengan emosi yang memuncak, aku menggeret laki-laki itu masuk ke sebuah toko yang menjual pakaian khusus laki-laki. Dan tentunya Andita mengikutiku dari belakang. “Mau ngapain lo?” gumam laki-laki itu namun aku tidak menghiraukannya, aku malah balik bertanya,
“Ukuran baju lo apa?”
“XL.” jawabnya kemudian.
Aku mengambil beberapa potong pakaian berukuran XL sesuai dengan ukuran yang diminta laki-laki resek ini.
“Nih. Lo pilih salah satu, gue yang bayar.”
Laki-laki itu mencari baju yang cocok untuk dia. Setelah menemukan yang seusai dengan pilihannya, dia masuk ke kamar ganti. Aku pergi ke kasir untuk membayar baju yang dipilihnya. Setelah memberi beberapa lembar uang seratus ribuan, aku dan Andita langsung pergi dari toko itu tanpa memerdulikan laki-laki resek itu lagi.

“Kay, lo gila ya ninggalin tuh cowok gitu aja.”
“Lo mau masalah kita makin ribet?”
“Ya enggak sih. Tapi kalo habis dia keluar dari kamar ganti terus dia nyariin kita gimana?”
Who cares? Toh juga baju yang dia pilih udah gue bayar kan? Jadi masalah selesai. Kita langsung balik aja deh. Mood gue langsung ilang setelah ketemu tuh cowok. Jadi cowok ribet amet, masalah kecil digede-gedein.”
Andita hanya mengangguk seadanya. Mungkin dia merasa bersalah karna masalah ini muncul gara-gara dia atau mungkin dia nggak mau buka suara karna takut aku menceramahinya sama seperti aku menceramahi laki-laki resek itu.
“Tapi, Kay. Cowok yang tadi itu kece juga loh.”
“Dita?!!”
                                                       ****
Baru sampai dikampus, udah ada berita heboh aja. Ada mahasiswa baru yang katanya sih kece pindahan dari luar negeri. Penasaran, sekece apa sih tuh mahasiswa sampai jadi trending topic dikampus. Well, kayaknya nggak susah deh nemuin informasi itu.
“Lagi gosipin apaan sih?”
“Lo belum tau, Kay? Ada mahasiswa baru gitu dikampus kita, pindahan dari Australia. Keren deh dia, emm kalo nggak salah namanya Rafa Aditya.”
Wow hebat banget nih cewek langsung tau semua tentang mahasiswa baru itu. Aku nggak ngerti sama perbincangan mereka sampai akhirnya suara cempreng itu...
“Kaylaaaaa!!!!”
“Ini kampus ya, Dit. Apaan sih kayak orang dikejar setan aja.”
“Lo tau lo tau, cowok yang kemaren ketemu sama kita di mall---” sambil mengambil napas.
“Yes, kenapa emang? Dia masih neror lo?”
“Dia kuliah disini.”
“WHAATTT?!!”
                                                       ****
“Mana sih mana?”
“Itu tuh yang lagi duduk, pakai jaket kulit. Dia cowok yang kemarin kan?”
“Oh My God, diantara sekian banyak kampus di Indonesia kenapa mesti kampus kita yang dia pilih?!!”
“Ati-ati deh lo, Kay. Jangan-jangan dia mau balas dendam soal kemaren.”
“Ih lo apa-apaan sih, Dit. Jangan bikin gue parno deh.”
Diantara ratusan bahkan ribuan kampus di Indonesia kenapa cowok itu milih universitas yang sama denganku. Dan itu artinya setiap hari aku dan dia akan sering bertemu. Setelah kejadian kemarin, aku yakin dia pasti masih tidak terima dengan tindakanku yang langsung ngeluyur pergi tanpa pamit setelah memberinya pakaian secara ‘gratis’.
Kalo dilihat dari sisi cerita memang dia nggak bisa asal marah-marah sama aku, karena aku nggak salah. Tapi kalo dilihat dari etika kesopanan, ya jelas aku salah. Pergi begitu saja tanpa meminta maaf walaupun itu sebenarnya kesalahan Andita, sahabatku. Mungkin ini hukuman dari Tuhan buat aku, harus bertemu dengan lelaki itu setiap hari.
“Lo?!!” ujar lelaki itu saat mengetahui aku dan Andita sedang asik duduk di kantin memperhatikan dia.
“Ngapain lo ada disini?” lanjutnya.
“Menurut lo?”
“Jangan bilang lo kuliah disini juga?!”
“Yes, it’s true.”
“Oh My God!! Gue nggak nyangka orang kayak lo bisa keterima di kampus ini? Very impossible.”
“Impossible?”
Sembarangan aja nih cowok kalo ngomong. Dia pikir aku ini nggak punya otak apa. Masuk ke universitas ini emang nggak gampang, tapi aku juga nggak sebodoh itu. Buktinya aku bisa masuk sini. Amarahku mulai nggak bisa terkontrol.
Tatapan sinis, dan dengan satu hentakan di kakinya.
“Aaawwww!!!”
“Sakit ya? Lain kali kalo mau ngomong dipikir dulu, jangan asal nyeplos!!”
                                                       ****
Novel keduaku stuck! Nggak ada inspirasi satu pun yang muncul. Jauh berbeda disaat aku masih bersama dia dulu. Ya Tuhan, betapa aku merindukan sosok itu. Merindukan suara merdunya, merindukan hangat peluknya, merindukan jemari tangannya. Andai waktu dapat ku putar, aku sangat ingin berada disisinya saat itu. Andai waktu dapat ku putar, tak akan aku sia-siakan setiap detik dan menit yang kita lalui bersama.
Air mataku kembali mengalir. Selalu dan selalu begini. Sudah dua tahun semenjak dia pergi tapi masih saja begini. Setiap detail tentang dia, aku masih mengingatnya. Setiap menit bersama dia dulu, aku juga masih mengingatnya. Entah sampai kapan aku seperti ini. Aku tahu, aku sadar, aku nggak boleh selamanya seperti ini. Aku masih mempunyai masa depan, masih banyak yang harus aku kerjakan. Tapi apa boleh buat, setiap kali aku mencoba melupakannya yang terjadi malah sebaliknya.
Kakiku melangkah menyusuri koridor demi koridor mall ini. Aku memutuskan untuk keluar rumah untuk membuang sedihku ini. Ya, aku adalah orang yang tidak ingin membagi sedihku pada orang lain, termasuk pada sahabatku sendiri. Sebuah cafe dengan nuansa klasik, disini aku pijakan kakiku. Aku sedih karena dia tapi sekarang ini, justru aku berada ditempat pertama kita bertemu. Ah sudahlah, mungkin disini memang tempat yang tepat untuk menghilangkan rasa rinduku dengan dia.
“Oh My God, dari sekian tempat diseluruh Indonesia, kenapa gue harus ketemu sama lo ditempat ini sih? Kemarin di mall, hari ini dikampus dan ketemu lagi di cafe?”
Suara cempreng itu lagi. Disaat mood’ku nggak baik kayak gini pun, lagi-lagi aku harus mendengar suara itu?
“Gue lagi nggak pengen ribut sama lo.” ujarku seadanya.
“Oke-oke, fine. By the way, gue boleh duduk sini? Cafenya lagi rame nih.”
“Duduk aja.”
Mengeluarkan headset dari saku bajunya, lalu duduk dengan santainya.
                                                       ****
Dua Tahun Yang Lalu...
Seperti biasa, hari ini aku kembali berkutat dengan laptop dan secangkir cappucino hangat disebuah cafe disalah satu mall ternama dikotaku. Aku masih disibukan dengan deadline kompetisi menulis novel. Cuma dengan cara ini aku bisa meraih cita-citaku untuk menjadi seorang penulis.
“Argh, kenapa mesti buntu gini sih. Perasaan kemarin-kemarin gak gini-gini amat deh. Ayo dong inspirasi buruan muncul.” batinku sambil mengacak-acak rambut.
Sudah hampir 5 jam aku duduk disini dan entah sudah berapa cangkir cappucino yang aku pesan daritadi. “Permisi?” sebuah suara menghancurkan lamunanku. Seorang lelaki dengan tinggi kurang lebih 170 cm, putih, dengan lesung pipi disebelah kanan tiba-tiba muncul didepanku.
“Kaget ya? Maaf-maaf, gue gak bermaksud bikin lo kaget. Emm kenalin, nama gue Tian.” ujarnya kemudian lalu mengulurkan tangan. Aku masih sibuk memperhatikan dia sampai akhirnya aku melihat ada kerutan didahinya seakan memberitahuku untuk segera menjabat tangannya.
“Sori-sori gue malah ngelamun, nama gue Kayla. Ada apa ya? Lo mau pake tempat ini? Tapi gue masih pengen duduk disini nih.”
“Kalo lo masih mau pake tempat ini ya silahkan, tapi boleh gak gue duduk dibangku ini. Kosong kan? Udah gak ada tempat lagi nih.”
“Silahkan. Maaf ya agak berantakan.”
Well, sebenernya lelaki ini udah gak asing lagi buat aku. Dia juga sering nongkrong di cafe ini tapi baru kali ini aku dan dia bisa bertegur sapa. Jujur, sebenarnya aku sering banget merhatiin dia. “Pasti bentar lagi dia bakal ngeluarin handphonenya terus dengerin lagu pake headset.” tebakku. Dan benar saja, dia melakukan itu. Tanpa sadar, bibirku melengkungkan sebuah senyuman kecil.
“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Tian tiba-tiba.
“Enggak ada kok. By the way, lo sering nongkrong di cafe ini kan?”
“Iya. Cafe ini tempat favorit gue kalo gue lagi suntuk dirumah. Lo sendiri juga sering nongkrong di cafe ini kan? Gue sering ngeliat lo dan lo selalu duduk dibangku ini. Yang gak gue ngerti cuma satu, lo ngapain betah banget lama-lama di cafe ini.”
“Heheh iya. Habis tempat ini adem sih, udah pw juga. Gue lagi nyari inspirasi buat cerita di novel gue, bentar lagi pengumpulannya.”
                                                       ****
“Woy, ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?”
Ingatan itu kembali muncul. Awal pertemuanku dengan dia. Ya Tuhan, maksud dan tujuanku kesini adalah untuk membuang rasa sedihku tapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya. Sampai kapan aku terus-terusan kayak gini.
“HELLLOOO?!!” teriak Rafa.
“Apaan sih lo, Raf?! Gue belum budek!!”
“Oh kirain lo udah budek. Ngapain sih lo ngelamun gak jelas gitu?”
“Kepo banget sih lo.”
                                                       ****
Semalaman suntuk aku berusaha meneruskan novelku, tapi hasilnya nihil! Ditambah lagi harus bertemu dengan ‘makhluk astral’. Huah, gimana mau nerbitin novel kedua kalau begini terus keadaannya. Andai inspirasi bisa dibeli di toko swalayan, andai inspirasi segampang nyari kunci motor yang nggak ke buang di tong sampah...
“Woy, pagi-pagi udah ngelamun. Kenapa lo?”
Tanpa suara.
“KAYLAAAA!!!”
Masih tanpa suara.
“HELLOOO KAYLAAA!!!”
“Ha? Apaan, Dit?”
“Otak sama indra pendengaran lo masih normal kan? Daritadi gue teriakin gak denger. Lo kenapa pagi-pagi udah ngelamun?”
“Bete gue. Lo tau kan gue pengen punya novel kedua, tapi sampe sekarang gue masih belum tau cerita apa yang bakal gue buat.”
“Well, Kay..Yang namanya nulis itu nggak bisa dipaksa, kalo lo belum dapet inspirasi ya mungkin emang sekarang belum waktunya. Lo masih muda, masih punya banyak waktu buat nyiptain karya-karya yang keren.” “Woles, sista!” sambil menepuk bahuku.
“Andai aja masih ada Tian.”
“Mulai deh. Mau sampe kapan sih, Kay lo kayak gini terus? Lo nggak capek? Tian pernah bilang kan ke lo kalo tanpa dia lo bisa jadi penulis hebat, dan gue sependapat sama dia.” “Tapi nyatanya? Sekarang gue stuck!”
“Mungkin itu karna mindset lo. Di otak lo selalu tertanam seolah-olah cuma Tian yang bikin lo semangat nulis padahal lo masih punya gue, lo masih punya keluarga, lo masih punya orang-orang yang sayang sama lo dan selalu nyupport lo. Lo harus buktiin ke Tian kalo lo bisa.”
“Tapi....”
“Gue yakin kok lo pasti bisa.”
                                                       ****

Because tonight will be the night
That I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
Or I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find
You're impossible to find

Aku berdiri terdiam. Mendengar alunan petikan gitar dan lantunan kata demi kata. Lagu itu..Lagu yang sering aku nyanyikan dengan dia dulu. Tapi kini yang aku lihat bukanlah dia.
“Ngapain lo bengong disana?”
“Lo...lo tau dari mana lagu itu?”
Bego! Pasti sebentar lagi dia bakal ngetawain gue.
“Fall For You? Siapa coba nggak ngerti lagu itu. Ada-ada aja pertanyaan lo.” sambil memasang wajah aneh.
Baru ingin melangkah meninggalkan cowok tengil itu.
“Eh mau kemana lo?” Tiba-tiba dia menarik tanganku dan membawaku duduk disampingnya. Entah kenapa, aku hanya diam membisu. Tidak ada komentar pedas, atau kalimat-kalimat ‘mematikan’.
“Temenin gue main gitar. Bete juga main gitar sendiri nggak ada yang nonton, nggak ada yang dengerin. Lo mau request lagu apa?”
                                                       ****
“Dit, gue cabut duluan ya.”
“Buru-buru amat, Kay mau kemana?”
“Tian udah nunggu didepan heheh.”
“Hemm pantesan, mau pacaran?”
“Belum resmi hahahah. Ya udah deh, gue duluan ya?”
“Take care.”
Semenjak perkenalan di cafe, aku dan Tian semakin sering bertemu. Entah itu untuk membahas novelku atau hanya hangout biasa. Tapi aku dan dia paling suka jalan-jalan di taman. Dia sibuk memainkan gitar dan bernyanyi sedangkan aku sibuk menulis. Bahkan terkadang aku juga ikut bernyanyi dengannya. Tian bagaikan malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongku menggapai mimpiku menjadi seorang penulis.
Sejak aku kecil, aku sangat ingin menjadi seorang penulis. Sudah banyak pula tulisan-tulisan yang aku buat, namun semua tulisanku itu musnah begitu saja saat laptop kesayanganku diambil maling. Mungkin kalau laptop itu masih ada, saat ini aku tidak perlu bingung membuat cerita. Tinggal seleksi mana yang menurutku bagus, kirim deh. But, Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ‘keapesan’ hamba-Nya dan mungkin ini adalah salah satu rencana Tuhan buat aku. Ya, bertemu dengan dia
“Mau nyanyi lagu apa lagi nih? A thousand years udah, Firasat udah, Melepasmu udah, ada saran?”
“Kamu tau lagunya secondhand serenade yang fall for you? Aku suka sama lagu itu, bisa dibilang itu lagu barat paling favorit.”
“Did you know, pertama kali aku belajar main gitar, aku mainin lagu itu.”
“Really?”
“Because tonight will be the night that i will fall for you, over again don’t make me change my mind or i wont live to see another day i swear it’s true, because a girl like you is impossible to find; you’re impossible to find.”
Suara Tian selalu menjadi penyejuk saat aku sedang menulis. Bagaikan air terjun yang mengalir deras, begitulah inspirasi yang tiba-tiba muncul saat mendengar dia bernyanyi. Aku sangat bersyukur bisa bertemu seseorang seperti Tian.
                                                       ****
“A thousand years.” ujarku tiba-tiba.
“Oh lagu itu. Lo suka lagu-lagu Christina Perri?”
“Ha..emm..oh enggak cuma lagi pengen denger lagu itu aja.”
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand yearsI'll love you for a thousand more
Time stands still
Beauty in all she isI will be braveI will not let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand yearsI'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to meI have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
One step closer
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Air mataku tidak mampu ku tahan lagi. Disini puncak kerinduanku pada sosok Tian yang dulu selalu menemaniku. Tian yang selalu menjadi inspirasiku disaat aku sedang menulis. “Kapan kita akan bertemu lagi Tian? Kapan?! Di surat itu kamu bilang kalau kita akan segera bertemu..” batinku.
“Kay, kok lo nangis?”
Sadar ada Rafa yang masih disebelahku, segera aku menghapus air mata yang sudah terlanjur membasahi pipiku.
“Gue..gue nggak nangis kok, cuma kelilipan aja.”
“Gue juga bisa bedain kali mana nangis yang karna kelilipan, mana nangis yang emang beneran nangis.”
“Apaan sih lo, sok tau banget!” aku segera berdiri dan segera beranjak pergi.
“Kalo lo butuh temen curhat, lo bisa kok cerita ke gue. Gue penjaga rahasia yang handal. Mungkin kita bisa....berteman? Well...makasih lo udah mau dengerin gue nyanyi.”
Tanpa jawaban, aku meninggalkan Rafa di taman kampus. Entah mengapa jantungku berdebar saat Rafa bilang ingin berteman. Rasanya aku ingin berteriak dan seketika, ingatan tentang Tian hilang. Hemm, mungkin ini hanya perasaan biasa karna dia menyanyikan lagu yang aku minta.
                                                       ****
“Terus lo mau temenan sama dia?”
“Gue nggak jawab, langsung gue tinggal pergi gitu aja.”
“Gue rasa nggak ada salahnya lo terima tawaran dia. Jadi kalo lo nggak bisa curhat ke gue karna gue lagi sibuk, lo masih punya temen curhat satu lagi.”
“Tapi kan gue kenal dia baru berapa bulan ini, Dit.”
“Tapi gue percaya kok, dia bisa ngejagain lo sama kayak Tian ngejagain lo dulu. Dulu lo sama Tian juga cuma kenalan berapa bulan terus jadian kan?”
“Belum jadian, lebih tepatnya.”
Whatever deh, pokoknya gitu deh. Gue percaya sama Rafa.”
Perkenalanku dengan Tian memang singkat. Hanya satu bulan dan aku sudah menaruh hati padanya. Entah itu cinta atau hanya perasaan nyaman, yang jelas ketika bersama dia, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Semua mengalir begitu saja.
                                                       ****
Kumulai lagu ini dengan bernyanyi
Waktu berhenti khayal menari nari
hanyut kedalam senyummu
tak peduli..
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Karena kamu cantik kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
Bukan karena make-up di wajahmu
atau lipstik merah itu (dibibirmu)
Lembut hati tutur kata terciptalah
cinta yang ku puja
tak peduli..
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Karena kamu cantik
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
Karena kamu cantik
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
“Widih..ada yang lagi jatuh cinta nih.”
“Siapa?”
“Yah pake tanya lagi nih anak. Ya lo’lah, siapa lagi coba. Siapa tuh ceweknya?”
“Bukan siapa-siapa. Orang tadi cuma lagu doang.”
“Ngeles aja lo kayak bajaj. Siapa?”
“Hahahah udah deh gak usah kepo. By the way, ngapain lo kesini?”
“Gue habis kenalan sama cewek, Bro.”
“Anak mana?”
“Anak sastra. Namanya Andita, lo kenal?”
“Andita? Kayaknya sih gue kenal tapi gini deh biar mastiin tebakan gue ini bener, gimana kalo lo ngajak dia ketemuan tapi gue ikut.”
“Oke, kebetulan gue juga pengen ngajak dia jalan. Tapi habis kenalan, lo kudu cepet-cepet pergi. Deal?”
“Iyee, paham deh yang lagi kasmaran.”
                                                       ****
“Ngapain sih lo ketawa-ketawa sendiri? Gila?”
“Sialan lo. Tadi gue habis kenalan sama anak fakultas hukum. Keren deh anaknya.”
“Te-russsss?”
“Namanya Dirga, terus kita tukeran nomer handphone dan dia ngajak gue jalan. Kyaaaaa!!! Sumpah ini pertama kalinya gue diajak jalan sama cowok.”
“Oh.”
“Cuma oh?”
“Terus gue harus ngapain?”
“Kasih selamat kek, apa kek. Lo nggak suka gue deket sama cowok?”
“Becanda kali neng. Kok bisa sih kenalan sama dia?”
“Jadi tadi gue kan nungguin lo keluar terus tiba-tiba dia nyamperin gue gitu. Dia bilang katanya dia udah sering merhatiin gue tapi nggak berani nyamperin gue karena gue selalu sama lo. Katanya dia juga punya temen anak sastra juga. Hemm, besok kan gue mau ketemuan lagi nih sama dia, lo ikut aja ntar gue kenalin deh sama Dirga.”
“Boleh deh.”
Sahabatku yang satu ini memang nggak pernah deket sama yang namanya cowok. Salah satu penyebabnya adalah dia terlalu jutek sama cowok. Bahkan sikap juteknya itu melebihi cewek yang lagi PMS.
Mungkin karna dia menyadari kalau selama ini sikapnya dia itu salah, awal masuk bangku kuliah Andita mulai berubah sedikit demi sedikit. Ya, walaupun kalo lagi sama aku dia tetep jadi Andita yang ‘sedikit’ nyebelin. Tapi aku salut sama perubahan demi perubahan yang dilakuin Andita. Hasilnya? Seorang mahasiswa fakultas hukum, mau kenalan sama dia. Congratulation, girl!
                                          
“Nomor nggak dikenal? Siapa nih?” batinku ketika melihat layar handphone yang menampilkan sederet angka yang nggak aku kenal.
“Hallo?”
“Hai, ini gue Rafa.”
“Rafa? Lo tau darimana nomer handphone gue?”
“Mau tau aja atau mau banget? Hahahah becanda. Gue tanya ke anak-anak ada yang punya nomer handphone lo apa enggak, ternyata ada yang punya ya gue minta aja. Nggak boleh ya? Gue ganggu?”
“Enggg...enggak kok. By the way, ada apa ya?”
“Lo lagi dirumah?”
“Enggak, gue lagi dirumah Andita ngerjain tugas. Udah selesai sih, ini mau pulang. Kenapa emang?”
“Gue jemput ya? Lagi bete juga dirumah, temenin gue jalan ya?”
“Jalan?”
“Iya, bisa?”
“Emm...boleh deh. Ntar gue sms’in alamat rumah Andita.”
                                                       ****
Lagi asyik-asyiknya ngepoin Andita yang baru kenalan sama cowok, tiba-tiba handphone aku berdering dengan nyaringnya. Nomor yang tertera dilayar handphone aku, nomor yang nggak aku kenal. “Rafa?” batinku. Aku mengutuk diriku sendiri! Kenapa aku berharap nama itu. Oh God, help me!!
Aku sedikit menjauh ketika mengangkat telfon dari nomor itu. Jantungku berhenti berdetak ketika lawan bicaraku “ini gue Rafa.”. Tebakanku nggak meleset. Tapi tau darimana dia nomor handphoneku? Buat apa juga dia menelponku?

“Siapa, Kay?”
“Rafa.”
“Ra-fa? Dia nelpon lo? Ada apaan? Tau nomor handphone lo dari mana?”
“Katanya sih dari anak-anak. Ngajakin jalan, katanya dia lagi bete dirumah.”
“Terus lo mau?”
Hanya dengan anggukan kepala.
“Thanks God, akhirnya Engkau membukakan pintu hati Kayla.”
“Emangnya selama ini pintu hati gue kenapa? Rusak?”
“Dia jemput lo kesini?”
“Iyap.”
Bener kata Andita, nggak ada salahnya aku berteman dengan Rafa. Kalau aku bisa berteman dengan Tian dengan mudahnya, kenapa nggak aku coba sama Rafa. Hemm bukan berarti aku juga dengan mudahnya naruh hati ke Rafa. Mungkin perasaan ‘aneh’ku selama ini cuma perasaan-perasaan biasa dan bukan apa-apa. Well, nambah lagi deh temen curhatku.

“Mau kemana sih, Raf?”
“Nggak tau. Lo ada saran?”
Aku ingin sekali ke tempat itu. Ingin mengenang dia yang dulu selalu menemani hariku. “Apa kabar kamu disana?” batinku.
“Kayla?”
“Ha? Emm ke taman yang di tengah kota, lo tau kan?”
“Oh iya gue tau, gue juga sering kesana.”
Dan sekarang, aku berdiri disini. Setelah dua tahun semenjak pertemuan terakhir kita, selama itu pula aku tidak pernah menginjakan kakiku lagi disini. Semuanya belum berubah, masih sama seperti yang dulu. Muda-mudi yang bersantai, komunitas-komunitas yang mengadakan pertemuan, para pedagang yang menjajakan dagangannya, semuanya masih sama.
Yang berbeda, dulu aku kesini bersama Tian tapi sekarang dia sudah pergi. Saat aku merindukan sosoknya, hanya ini yang bisa aku lakukan. Mengenang setiap detik dan menit yang dulu pernah kita lalui bersama. Dadaku mulai terasa sesak, rindu ini sudah tak tertahan lagi. Dan akhirnya tangis ini pun pecah.
“Gue kangen dia, Raf. Gue kangen!!!”
Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin untuk menghilangkan rasa sesak ini. Aku merindukan obat penenangku. Kenapa dia harus pergi? Kalau kita dipertemukan hanya untuk sementara, aku lebih menginginkan kita nggak pernah bertemu!!
“Lo kenapa, Kay kok lo nangis? Kangen? Lo kangen siapa?”
“Gue kangen dia. Gue pengen ketemu dia. Tian. Dia yang dulu sering ngasih semangat ke gue waktu gue lagi nggak mood nulis. Dia yang selalu ada buat gue, nemenin gue nulis kalo Dita lagi nggak bisa. Tapi disaat gue udah mulai terbiasa sama kehadiran dia, disaat gue mulai naruh hati ke dia, dia ninggalin gue. Padahal gue masih butuh dia.” dibahu Rafa aku tumpahkan semua yang mengacaukan hatiku. Sudah lama rasanya aku ingin mengeluarkan ini semua. Dan sekarang semua tumpah begitu saja. Disini, di taman ini, untuk yang pertama kalinya aku luapkan semuanya. Berharap dia mendengar semua yang aku rasakan. Berharap dia mengerti apa yang aku rasakan.
“Dimana ada pesta nggak mungkin pesta itu berlangsung selamanya, pasti ada akhirnya. Begitu juga dengan pertemuanmu dan Tian. Kalian dipertemukan untuk saling melengkapi dan menemani, namun jika sudah waktunya untuk berakhir maka itu akan berakhir. Kalo boleh memilih, mungkin semua manusia menginginkan pertemuan itu nggak akan ada akhirnya. Tapi jika Tuhan sudah berkehendak, apa yang bisa dilakukan? Nggak semua perpisahan berakhir pahit, selalu ada hal indah dibalik kesedihan itu. Percaya sama gue.” “Semuanya bakal indah pada waktunya. Gue nggak nyuruh lo buat ngelupain Tian, karna yang namanya kenangan memang sudah sepantasnya untuk dikenang tapi yang harus lo inget, lo harus belajar buat ngikhlasin semuanya. Pelan-pelan lo pasti bisa.”
Tangisku mulai mereda. Seakan menerima sebuah tamparan keras. Aku merasakan ada sesuatu yang salah dalam diriku selama ini. Kenangan itu memang untuk dikenang tapi enggak seharusnya aku ikut larut dalam kenangan itu. Sudah banyak waktu yang aku buang karena kenangan itu yang mengusikku.
Aku harus bersikap tegas. Rafa benar, kenangan itu nggak akan pernah mati. The show must go on, aku masih punya sejuta impian dan nggak seharusnya aku merelakan impianku sirna hanya karena aku terlalu terpuruk. Aku memang merasa kehilangan, tapi aku harus merelakan itu karena itu memang sudah kehendak Tuhan.
“Udah tenang?”
“Lo bener, Raf. Gue masih punya banyak impian, kalo gue kayak gini terus apa jadinya gue. Gue yakin, Tian disana juga nggak pengen ngeliat gue kayak gini terus. Thanks ya, Raf lo udah ngasih masukan ke gue. Thanks juga karena lo udah mau dengerin gue.”
“No problem, udah seharusnya gue ngelakuin itu.”
“Seharusnya?”
“Emm...iya kan kita temen?”
“Iya lo bener.”
“Nah gitu dong senyum, kan keliatan tuh cantiknya.”
“Jago gombal juga lo hahahah.”
                                                       ****
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang ku rindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba kau selalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam
Hari ini sebelum ke kampus, aku memutuskan untuk pergi ke ‘rumah’ Tian. Sudah tiga hari ini aku tidak kesana. Memang kemarin aku sudah janji sama Rafa untuk berubah, tapi aku nggak mau Tian salah paham. Aku harus menceritakan semuanya.
“Selamat pagi, Tian. Maaf banget aku baru bisa kesini sekarang. Aku mau cerita banyak ke kamu. Jadi beberapa hari lalu aku ketemu sama seorang cowok yang awalnya aku pikir cowok itu tengil, angkuh tapi ternyata dia baik banget. Namanya Rafa, dia juga yang udah nyadarin aku kalo selama ini yang aku lakuin itu salah. Nggak seharusnya aku terlalu berlarut-larut dan kamu juga sebenernya nggak mau kan ngeliat aku kayak gitu terus.”
“Aku mau berubah, Tian. Ini semua demi impian aku dan demi kamu juga. Aku nggak mau kamu sedih ngeliat aku kayak gini, dan aku juga nggak mau impian aku hancur. Bukan berarti aku ngelupain kamu, enggak. Kamu akan selalu ada dihati aku sampai kapanpun. Aku harap kamu ngerti ya, Tian. See you, ganteng.”
Satu kata; lega! Hari ini adalah awal dari semuanya. Awal dari seorang Kayla Ramadhani yang baru. Novel kedua, i’m coming!!
“Kay, ntar sore lo jadi nemenin gue ketemu Dirga kan?”
“Iya jadi, emang ketemuan dimana sih?”
“Di Town Square. Pulang kuliah langsung aja capcus kesana biar nggak ribet.”
“Terserah lo deh. Tapi hari ini gue nggak bawa mobil, dipake nyokap arisan.”
“Bagus dong jadi gue bisa modus biar dianter Dirga pulang.”
“Apa kabar sama gue nih ceritanya?”
“Katanya sih Dirga ngajak temennya juga, lo bisa pulang bareng dia. Hahahah.”
“Sialan, gue jadi korban.”
Persahabatan itu lucu. Disaat sahabatmu sedang merasakan kebahagiaan, entah mengapa kamu juga turut merasakan kebahagiaan yang sama dengan dia. Bahkan demi kebahagiaan itu, kamu rela melakukan apa saja agar dia tetap merasakan kebahagiaan itu. Persahabatan tidak mengenal seberapa lama kamu dan dia saling mengenal, namun persahabatan adalah seberapa paham kamu mengerti arti persahabatan itu sendiri.

Rafa
Lagi dimana?
Reply
Lagi dikelas, kenapa?
Lo nggak ada kelas?

Rafa
Nggak ada apa-apa sih, cuma mau mastiin aja.
Ada sih, tapi ntar agak siangan.
Ya udah deh, selamat belajar cantik ;)
Reply
Thank you :)
                                             ****
*ting*
Aku merogoh saku celanaku ketika mendengar nada dering bbm. Aku memang tidak pernah memasang mode silent untuk handphone’ku karena memang selama ini aku tidak pernah terganggu ataupun diganggu oleh handphone selama aku menerima pelajaran. Dan aku juga bukan tipe orang yang langsung membalas pesan ketika sedang melakukan hal yang menurutku jauh lebih penting.
Aku mengerutkan dahi ketika membaca pesan pada kolom chat. Bingung dan heran. Semenjak kejadian kemarin, dia selalu memberi perhatian-perhatian kecil. Mungkin ini perhatian seorang teman. Andita juga sering melakukan hal ini, nggak perlu terlalu dipikirkan.
                                                       ****
“Mana sih?”
Sudah hampir satu jam, aku dan Andita duduk dibangku restoran ini tanpa memesan makanan apapun. Kalau boleh jujur, aku merasa sungkan dengan pelayan restoran disini. Daritadi kita hanya duduk diam, sibuk dengan gadget masing-masing padahal sudah ditawari daftar menu.
“Kesan pertama aja udah buruk banget menurut gue. Lo nggak ngerasa risih gitu daritadi diliatin pelayan?”
“Bodo amat. Kan tadi gue udah bilang kalo masih nunggu orang. Sabar aja kenapa sih.”
Untung aja Andita nggak punya sifat yang sama denganku. Mungkin kalau aku yang diposisi Andita, udah daritadi aku pergi dari tempat ini. Aku paling nggak suka sama yang namanya ‘ngaret’. Kalau udah janjian jam segitu, ya harus on time. Namanya aja janjian, keputusan bersama dan disanggupi kedua pihak tapi kenapa masih ngaret juga.
Mungkin apa kata sebagian orang tentang masyarakat Indonesia itu benar. Jam yang digunakan Indonesia itu bukan jam besi yang udah pasti tapi jam karet yang bisa molor-molor. Kalo molor 5-10 menit, okelah masih bisa ditoleransi nah ini udah hampir sejam. Kayaknya kalo Dirga dan Andita sampai jadian, mereka bakal jadi pasangan yang cocok deh; sama-sama tukang ngaret.
“Tuh mereka.”
“Mereka?”
Aku membalik badan. Mataku melotot ketika melihat salah seorang yang sedang berjalan ke arahku dan Andita. Jadi maksud temen cowok Dirga yang dimaksud Andita tadi itu ternyata...Rafa?
“Hai. Udah lama ya nunggunya?” tanya Dirga.
Baru saja aku ingin membuka mulut, baru saja aku ingin menyahuti kata-kata Dirga dengan sejuta kalimat makian, Andita sudah memasang wajah malaikat dan berkata “Enggak kok, kita baru aja nyampe. Tadi mampir-mampir dulu soalnya, maklumlah cewek.”
Ingin rasanya detik itu juga aku menjambak rambut Andita. Dia bilang kita baru sampai? Satu jam aku menunggu dengan perut kelaparan, dia masih bilang baru sampai. Sahabat gue yang satu ini emang paling the best kalo udah berurusan sama yang namanya bohong.
“Oh ya kenalin, Raf ini Andita yang kemarin gue ceritain. Dit, ini Rafa temen gue.”
“Kalo Rafa sih gue udah kenal. Bahkan gue sama Kayla kenal Rafa duluan. Oh ya, Kay ini yang namanya Dirga.”
“Hai, gue Kayla. Dunia itu sempit ya, ternyata temen gue sama Andita eh temen lo juga.” masih dengan tampang sinis dan berlagak sok asik.
“Sebenernya gue temen adiknya Rafa, kenal sama adiknya ya juga harus kenal sama kakaknya dong. Logikanya sih gitu, Rafa udah gue anggep kayak saudara sendiri.”
“Adik? Kok lo nggak pernah cerita, Raf kalo lo punya adik? Terus adik lo sekarang dimana?” sela Andita.
“Adik gue...” raut wajah Rafa yang semula sumringah berubah menjadi datar setelah mendengar pertanyaan Andita tadi. Dan aku bisa melihat itu. “Dia udah lebih dulu dipanggil Tuhan---kanker hati.”
“Sori, Raf gue nggak bermaksud.” ucap Andita.
“It’s oke, no problem. Gue laper nih, pesen makanan enak nih kayaknya.”

Mulutku bagai diplester ketika mendengar dua kata terakhir yang diucapkan Rafa. Kanker hati. Ternyata Rafa juga merasakan apa yang aku rasakan dulu. Kita sama-sama merasakan kehilangan orang yang kita sayang. Pantas saja waktu itu ditaman, dia bisa dengan tegas mengatakan itu semua.
Sehabis makan, aku melihat Andita melempar kode. Ya, aku paham kode apa itu. Dia menginginkan aku segera pergi agar dia dan Dirga punya waktu berdua. Maklum deh ya, namanya juga orang lagi jatuh cinta. Serasa dunia milik berdua sedangkan yang lain cuma nge’kost.
“By the way, Raf. Lo habis gini ada acara nggak? Gue mau minta tolong nih.”
“Enggak kayaknya. Minta tolong apaan?”
“Temenin gue ke toko buku. Gue mau survei gitu soal novel apa sih yang sekarang-sekarang ini lagi diminati sama anak-anak muda jaman sekarang. Gimana?”
“Boleh tuh boleh. Kebetulan gue juga mau nyari buku buat bahan mata kuliah besok. Gue kekurangan buku banget soalnya, kalo minjem diperpus terus nggak leluasa.”
“Jadi ceritanya kita mencar nih?” sahut Dirga akhirnya.
“Ya kalo lo mau ikut gabung sih terserah.” jawabku. Aku tahu dalam hati Andita pasti berharap Dirga bilang enggak. Keliatan dari raut mukanya yang tiba-tiba kaget karna aku ngajakin Dirga gabung. Emm, sengaja sih emang buat ngetes Dirga. Kalo Dirga emang beneran suka sama Andita pasti dia nolak dan pilih buat jalan berdua bareng Andita biar mereka saling kenal.
“Emm...enggak deh. Gue sama Andita jalan sendiri aja. Lagian juga gue pengen kenal Andita. Siapa tahu cocok.”
“Kay, kalo lama-lama disini kayaknya kita bakal jadi obat nyamuk deh. Gimana kalo kita pergi sekarang aja?” sahut Rafa.
“Setuju deh gue sama lo, Raf. Bye, Dita.”
Setelah berpamitan dengan Dirga dan Andita, aku dan Rafa keluar restoran dan tentunya kita juga dengan terpaksa pindah mall. Karena selain di mall ini nggak ada toko bukunya (karena isinya tempat makan semua), kita juga harus ngalah sama pasangan yang lagi jatuh cinta.
                                                       ****
“Emm, Raf..”
“Yap?”
“Sebenernya gue nggak bener-bener pengen ke toko buku, itu cuma alasan gue doang. Habis Andita udah ngode gue buat cabut.”
“Hahaha kok kita bisa samaan sih? Dirga tadi nge’bbm gue nyuruh gue cabut. Terus ini kita kemana?”
“Entahlah, gue juga bingung mau kemana.”
“Makan es krim aja gimana?”
“Ngikut aja deh gue, kan gue nebeng lo.”
Rafa hanya melempar senyum. Senyum yang hangat. Senyum yang dulu juga pernah aku rasakan ketika aku sedang bersama Tian.

Saat kau jatuh lukai hati
Dimanapun itu i'll find you
Saat kau lemah dan tak berdaya
Lihat diriku untukmu
Kapanpun mimpi terasa jauh
Ingatlah sesuatu ku akan selalu
Jadi sayap pelindungmu
“Lagu lo galau-galau ya?”
“Dengerin lagu galau bukan berarti gue lagi galau. Gue suka aja sama lagunya. Puitis gitu liriknya.”
“Oh kirain lo galau.”
Rafa sosok orang yang penuh misteri. Cenderung pendiam. Jalan sama Rafa malah bikin aku salah tingkah sendiri. Nggak tau mau ngomong apa. Dia cuma jawab apa yang gue tanya, selebihnya dia lebih banyak diam. Terus aku harus gimana? Aku sendiri juga tipe orang yang nggak jauh beda dari dia. Kesalahan banget aku iyain ajakan dia makan es krim.

“Gue perhatiin dari tadi lo lebih banyak diemnya, kenapa?”
“Ya gini ini gue. Sori ya kalo lo jadi nggak nyaman.”
“It’s oke.”
“Kay...gue...boleh tau nggak soal...”
“Soal apa?”
“Soal...Tian. Itupun kalo lo nggak keberatan, gue nggak maksa kok.”
Aku melemparkan senyuman ke arah Rafa. “Tian itu inspirasi pertama gue. Pertama kali gue ‘nyemplung’ ke dunia novel, dia yang ngasih semangat gue buat nyelesain tulisan gue. Dia juga yang ngasih banyak masukan ke gue. Gue nyaman ada didekat dia, nggak tau kenapa tiap gue lagi jalan sama dia, gue selalu dapet inspirasi nulis. Sayang..pertemuan gue sama dia nggak berlangsung lama. Bahkan gue belum sempat bilang apa yang hati gue rasain ke dia. Udah takdirnya kali ya.”
“Umm..emang sekarang Tian dimana?”
“Di sisi Tuhan. Sama kayak yang dialami adek lo, kanker hati. Gue tau’nya pun telat. Telat banget. Seminggu sebelum gue nerbitin novel pertama gue. Seandainya waktu itu gue nggak dateng ke rumahnya, mungkin sampai detik ini gue masih menganggap dia sebagai seorang cowok brengsek yang udah bikin gue jatuh cinta sama dia terus dia pergi gitu aja.”
Air mataku jatuh lagi. Jatuh untuk kesekian kalinya. Padahal aku udah janji sama diri aku sendiri kalau nggak akan nangis lagi. Memang benar kata orang bijak, seseorang yang bisa membuatmu tertawa adalah seseorang yang berpeluang besar membuatmu menangis. Dan Tian sudah membuktikan kalimat itu.
Aku mencoba tersenyum sambil menahan air mata ini agar tidak mengalir lebih deras. “Segitu aja ya, Raf. Gue nggak tahan.”
“Sori, gue nggak maksud bikin lo nangis. Gue cuma pengen tau aja seberapa penting Tian dalam hidup lo. Sekarang gue ngerti kenapa waktu itu lo sampe nangis kayak gitu, sayang lo ke Tian besar banget. Apa lo tau Tian punya perasaan yang sama ke lo apa enggak?”
“Sebelum dia pergi, dia nitipin surat ke nyokapnya dan di surat itu dia bilang kalau dia suka sama gue sejak kita ketemu di cafe. Cinta memang harus diungkapkan tapi tidak semua cinta bisa dimiliki setelah pengungkapan.” Aku menghapus air mataku.

Dua Tahun yang Lalu...
Suara Tian selalu menjadi penyejuk saat aku sedang menulis. Bagaikan air terjun yang mengalir deras, begitulah inspirasi yang tiba-tiba muncul saat mendengar dia bernyanyi. Aku sangat bersyukur bisa bertemu seseorang seperti Tian.
“Kalau nanti aku menang dan cerita aku ini diterbitin, cerita ini bakal aku persembahin buat kamu.”
“Buat aku? Kenapa?”
“Kamu inspirasi aku. Mungkin kalau waktu itu bangku di cafe gak rame, aku gak akan mungkin bisa kenal sama kamu dan mungkin juga aku akan gagal menggapai cita-citaku.”
“Kamu memujiku terlalu berlebihan. Menurutku, kamu itu memang mempunyai bakat menulis. Tanpa ada aku di kehidupanmu pun, kamu bisa menjadi penulis terkenal.”
“Enggak, Tian. Ini semua berkat kamu, aku berterima kasih karena kamu udah mau jadi inspirasiku. Selamanya kamu bakal jadi inspirasiku kan?”
“Entahlah, aku gak bisa janji.”
“Ayolah Tian, janji sama aku kalo kamu bakal terus jadi inspirasi aku. Ya?”
Tian hanya tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala. Itu saja udah cukup membuatku senang.
Dia yang dulu sering nyanyiin aku di telpon, dia yang dulu sering ngasih semangat waktu badmood, dia yang dulu jadi moodbooster, sekarang hilang dan musnah begitu saja. Aku kangen kamu, Tian..Kangen
“Udahlah, Kay jangan sedih gitu. Mungkin Tian lagi sibuk sama kuliahnya.” Andita sepertinya paham dengan apa yang aku rasain sekarang.
“Sesibuk-sibuknya dia, masak gak bisa sih ngasih kabar ke gue. Gak perlu via telpon deh, via sms kan bisa. Dulu juga sesibuk-sibuknya dia, dia selalu ada waktu buat ngabarin gue kok. Apa jangan-jangan dia udah punya cewek ya makanya dia ngejauh dari gue?”
“Huss, jangan nethink gitulah. Gue yakin, Tian bukan cowok yang kayak gitu.”
“Temenin gue ke rumah Tian yuk.”
“Sekarang?”
“Nunggu abad 100. Ya iyalah sekarang.”

“Oh jadi kamu yang namanya Kayla?”
“Iya tante. Kok tante tau saya?”
“Tian sering cerita tentang kamu ke tante. Kata Tian, kamu itu cewek yang periang, cantik, pekerja keras, dan gak gampang menyerah. Tante sebenarnya sudah lama ingin ketemu kamu eh akhirnya sekarang kesampaian.”
“Iya, Tan. Emm, Tiannya ada kan, Tan? Saya sudah lama gak ketemu sama Tian, Tian juga udah gak pernah ngasih kabar ke saya.”
Raut wajah Tante Maya yang awalnya ceria, seketika berubah menjadi sedih. Dititik ini aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada apa dengan Tian sampai mamanya jadi sedih begini. Tiba-tiba Tante Maya masuk ke dalam kamar dan kembali keluar dengan membawa sebuah amplop. Aku semakin heran, ada apa ini sebenarnya.
“Ini titipan dari Tian buat kamu sebelum dia pergi.”
“Pergi? Tian pergi kemana, Tan?
“Kamu baca aja dulu itu.”
Aku pun membuka amplop yang diberikan Tante Maya.

Hai, Kayla
Mungkin saat kamu baca surat ini, aku udah gak ada didunia ini lagi. Maaf kalau aku bikin kamu khawatir. Aku cuma gak mau ngeliat Kayla yang ceria jadi sedih gara-gara aku. Makasih Kay karena kamu, aku jadi punya semangat hidup lagi, aku jadi punya harapan lagi. Aku udah berjuang semampuku, Kay tapi penyakit ini makin lama makin ganas. Bahkan tubuhku pun gak bisa lagi nahan rasa sakit ini. Aku memang gak pernah cerita soal ini ke kamu, karena menurutku ini gak penting. Tetaplah menjadi seorang penulis yang ceria ya, Kay. Aku yakin kamu pasti bisa menjadi penulis hebat. Oh ya satu lagi sebelum aku pergi, aku pengen banget ngomong gini ke kamu..Aku suka sama kamu sejak awal kita ketemu di cafe itu, Kayla Ramadhani...Kita pasti ketemu lagi kok. J
                                                                               From your inspiration, Tian...
Air mataku mengalir begitu derasnya. Selama ini Tian menutupi tentang sakit yang dideritanya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak pernah sedikitpun menanyakan tentang kesehatannya. “Apa maksudnya ini, Tan? Tian kenapa?”
“Tian punya penyakit kanker hati stadium akhir. Tante udah sering bilang ke dia buat ngasih tau kamu tentang ini, tapi dia bilang kalau dia gak mau bikin kamu sedih. Sampai akhirnya minggu lalu, Tuhan memanggil dia.”
Jantungku rasanya mau copot. Air mataku makin deras mengalir. Berakhir, duniaku berakhir. Apa jadinya aku tanpa kamu, Tian? Apa aku masih bisa menjadi penulis? Kenapa kamu harus pergi secepat ini, saat aku masih butuh kamu?
                                                       ****
“Jujur aja, Raf pertama kali gue denger lo nyanyi lagu fall for you di taman kampus dan pertemuan kita di cafe waktu itu...gue ngerasa deja vu. Apa yang lo lakuin, suara lo, cara lo main gitar, semuanya mirip kayak apa yang pernah dilakuin Tian ke gue dulu.”
“Cuma kebetulan aja kali.”
“Maybe. Sampai kapanpun nggak ada yang bisa gantiin posisi Tian dihati gue.”
“Seorang pun? Lo nggak nikah-nikah dong?”
“Bukan itu maksud gue. Maksud gue itu Tian akan selalu ada di hati gue apapun yang terjadi. Gue nggak akan ngelupain dia sampai kapanpun, jasa dia ke gue terlalu besar sampai gue nggak tau mau ngebalesnya kayak gimana.”
“Oke, gue paham.”
“Udah malem nih, cabut yuk.”
“Kemana?”
“Kayaknya gue mau pulang aja deh, badan gue pegel semua nih. Nggak apa-apa’kan?”
“Bukan mau ngelanjutin nangis kan?”
“Hahaha nggaklah, serius deh badan gue pegel.”
“Janji sama gue malem ini terakhir kalinya lo nangis?”
“Janji!”
“Oke, mari kita pulang.”
                                                       ****
“Kyaaaaa, sumpah Kay kemarin gue seneng banget. Belum apa-apa nih ya, dia udah ngajakin gue kerumahnya terus dikenalin ke nyokapnya. Nyokapnya welcome gitu sama gue.”
“Ya udah gih sana buruan jadian.”
“Kalo gue jadian, terus lo gimana?”
“Gue? Maksudnya?”
“Ntar yang nemenin lo curhat malem-malem siapa? Kalo lo lagi kangen Tian, lo nangis dibahu siapa? Kalo lo butuh saran buat nulis, siapa yang lo tanyain?”
“Jadi maksud lo kalo lo udah punya cowok, lo bakal lupa sama gue gitu? Fine banget, Dit.”
“Becanda neng. Sensi amat jawabnya.”
“Lo jadian sama Dirga juga gue nggak bakal kesepian, kan ada.....”
“Ada siapa?”
“Ada...nyokap bokap gue, saudara-saudara gue.”
“Dan ada Rafa! Lo pasti mau nyebutin nama itu juga kan?”
“Apaan sih lo nggak jelas banget. Udah ah gue mau ke kantin, laper.”

Nama itu...kini nama itu selalu ada dalam kehidupanku. Aku mulai memperhitungkan keberadaannya. Kini, tidak ada celah sedikitpun untuk tidak melihat senyumnya. Bahkan aku rasa, kini senyumnya bagaikan candu yang membuatku tidak bisa untuk tidak melihatnya. Dia menjadi sosok yang sangat berarti untukku saat ini. Sampai kapan? Entahlah, namun salahkah bila aku mengharapkan untuk selamanya? Tidak terlalu mulukkah harapanku itu? Ah, rasanya tidak. Bukankah semua hal itu berawal dari sebuah harapan?
Aku mulai fokus menulis novel keduaku. Masih nggak jauh dari tema percintaan, karna tema cinta hingga saat ini masih menjadi favorit terutama dikalangan pelajar dan mahasiswa. Namun kisahku kali ini, akan aku ambil dari kisahku sendiri. Kisah yang benar-benar aku alami. Bisa dibilang aku memindahkan isi diary’ku kedalam novelku ini.
“Woy, ngelamun aja!”
Suara itu. Suara yang aku tunggu sejak tadi. Seketika aku menghela napas panjang. Seolah-olah beberapa menit lalu aku sedang menahan napas yang cukup lama. Dan akhirnya obatku datang.
“Kebiasaan deh ya. Kalo dateng itu bisa nggak sih kalo nggak bikin orang jantungan? Lo mau gue kena serangan jantung mendadak?”
“Hahaha lebay banget deh.” ujarnya sambil mengeluarkan senyum mautnya. Senyum yang aku suka.
“Ngapain sih bengong sendirian di taman gini. Tadi kata Andita lo di kantin, gue cari di kantin eh taunya lo disini. Lagi galau ya?”
“Apaan sih lo, Raf. Emang kalo gue lagi di taman gini itu artinya gue lagi galau?”
“Nah terus ngapain?”
“Lo nggak liat daritadi didepan gue ada apaan?”
“Iya gue liat. Ada laptop kan?”
Aku memasang wajah bertanya-tanya seolah memberi kode kepada Rafa tentang apa yang sedang gue lakuin disini dan tentunya aku berharap Rafa nggak terlalu bodoh untuk menangkap kode dariku.
“Oh, i see. Emang udah tau mau bikin novel apa?”
Fiuhh! Ternyata dia ngerti apa yang aku maksud. Hemm, ternyata dia cukup pandai untuk menebak sebuah kode.
“Udahlah. Gue mau bikin cerita tentang apa yang gue alami.”
“Are you serious?”
“I am really serious!”
“Oke, gue sih cuma bisa ngedukung sekaligus berdoa novel lo nanti bisa masuk novel best seller.”
“Aminnn.”
“Lo udah makan belum? Gue beliin makanan dikantin ya?”
“Lo emang temen gue yang paling pengertian. Tau aja kalo temennya belum makan hahah. By the way, thank you.”
“Buat?”
“Buat apapun yang udah lo lakuin ke gue.”
“Apaan sih lo, gak jelas banget. Mau makan apaan?”
“Apa aja deh yang penting bikin kenyang.”
“Rumput campur tanah, mau?”
“Sialan lo, tega bener ngasih gue makanan kayak gitu. Lo pikir gue kambing.”
Rafa hanya tersenyum mendengar jawabanku dan langsung ngacir ke kantin. Anak itu selalu begitu. Sifat misteriusnya nggak pernah ilang sedikit pun. Aku heran sendiri, dulu waktu mamanya hamil dia, mamanya ngidam apaan coba sampai punya anak semisterius itu.
Kurang dari lima menit Rafa sudah kembali membawa satu kantung plastik yang sudah pasti berisi makanan dan air mineral.
“Nih makanannya.”
Aku tidak menghiraukan apa yang Rafa katakan karna aku terlalu asik dengan duniaku. Dengan sigap Rafa mengambil laptop yang ada didepanku.
“Makan dulu baru lanjut lagi.”
“Nanggung, Raf. Dikit lagi deh...dikit aja.” ujarku manja.
“Kalo gue bilang makan, ya makan. Atau lo mau gue hapus nih cerita lo biar lo ngulang semua dari awal?”
Skak mat! Rafa selalu bisa membuatku menuruti semua yang dia ucapkan. Tentunya karna dia sangat cerdas untuk hal mengancam. Siapa coba yang nggak nurut kalo udah diancam gitu. Aku sih ogah ya harus ngulang nulis dari awal.
Aku mengambil makanan yang dibelikan Rafa tadi. Tentunya dengan muka ditekuk beribu lipatan. Sedangkan dia? Dia hanya tersenyum lebar layaknya orang telah memenangkan perang. “Makan ya makan aja, nggak usah sambil cemberut gitu. Kasian tuh nasinya lo cemberutin.” Aku sama sekali tidak menghiraukan perkataan Rafa.
                                                       ****
Dirumah, aku masih tetap disibukan dengan dunia tulis menulisku. Handphone sengaja aku matikan agar tidak ada yang menggangguku. Begitu juga dengan lagu yang aku putar dari laptop, aku pasang dengan volume sekeras mungkin agar tidak mendengar hal apapun.
Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 23:00. Kalau dihitung, aku sudah menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk meneruskan ceritaku. Aku mengambil handphone’ku yang tergeletak diatas kasur.
“10 message, 5 chat? Siapa nih ngirim pesan ke gue banyak bener.”
Aku membuka ruang inbox’ku. Dan disana tertera nama “Rafa”. Aku hanya tersenyum membaca semua pesan singkat Rafa. 5 chat itu juga berasal dari orang yang sama. Aku membaca isi pesan singkat terakhir dari Rafa.
Rafa
(+62811340xxxxx)
Gw gak tau sekarang lo lg ngapain, stlh lo baca sms gw ini lo hrs telp gue!
 Aku segera menekan tombol hijau setelah mencari nama Rafa dalam daftar kontakku.
“Apaan sih lo, berisik banget deh. Nggak kurang banyak tuh ngirim 10 sms sama 5 bbm? Pegel gue bacanya.” ujarku saat Rafa baru mengangkat telpon dariku.
“Woy! Kenapa jadi lo yang sewot ha?! Harusnya yang ngomel-ngomel itu gue. Lo ditelpon nggak bisa, di sms plus di bbm nggak dibales. Kemana aja sih lo? Ke negeri antabrantah?”
“Selow aja kali kalo ngomong, gendang telinga gue bisa pecah nih. Sori-sori, gue tadi lagi nulis dan nggak mau diganggu terus handphone gue matiin deh heheh. Kenapa sih emang?”
“Ya nggak apa-apa sih. Cuma gue khawatir aja lo kenapa-napa, habis lo dihubungin nggak bisa. Syukur deh kalo lo nggak kenapa-napa.”
“I’m fine.”
“Ya udah kalo gitu, udah malem juga. Tidur sana lo, besok kuliah pagi juga kan. Nggak usah nerusin nulis, liat jam tuh udah jam berapa.”
“Iya bawel, gue juga udah mau tidur kok. Night.”
“Night too, princess. Have a nice dream.”
Dan percakapan pun terputus. Baru beberapa bulan aku mengenal Rafa rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku mengenalnya. Persahabatan kita memang aneh. Persahabatan? Sejauh ini memang itu “status” kita.

“Mau sampai kapan lo nggak ngasih tau identitas lo yang sebenernya?”
“Gue belum tau, Dir.”
“Lo udah deket banget sama dia, harusnya lo udah bisa jelasin semuanya ke dia termasuk soal identitas lo dan Tian.”
“Lo nggak cerita masalah ini ke Andita kan?”
“Enggaklah, Raf. Buat apa juga gue nyeritain hal ini ke dia.”
“Gue belum nemuin waktu yang tepat buat ngungkap semuanya ke dia. Gue takut kalo udah cerita semuanya, dia bakal jauhin gue. Gue nggak mau itu terjadi.”
“Jangan bilang lo.....”
“Mungkin. Salah kalo gue punya rasa itu?”
“Cinta nggak pernah salah. Lagian itu juga kan yang di mau Tian dari lo?”
“Thanks, bro.”
                                                       *****
Rafa
Kay, pulang kuliah ntar lo bareng sama gw ya?
Ada sesuatu yang mau gw omongin ke lo.
“Sesuatu?” batinku usai membaca chat yang dikirm Rafa. Apa yang mau diomongin Rafa ke aku, sepertinya penting banget.
Reply
Oke, gue selesai kuliah jam 3.
Rafa
Sip (y)

“Lo mau ngomongin apa, Raf?”
“Soal....”
“Apaan? Nggak usah sok misterius gitu deh.”
“Soal....siapa gue sebenernya.”
Aku tertawa mendengar ucapan Rafa. Tertawa sekaligus bingung dengan maksud ucapannya. Apa yang selama ini nggak aku tahu soal Rafa? Apa dia menyembuyikan sesuatu?
“Emang lo siapa? Anak presiden? Anak menteri?”
“Gue...gue kakaknya Tian.”
Glekk! Tawaku beberapa detik yang lalu langsung hilang. Kakak? Tian? Oh Tuhan, apalagi ini. Kenyataan apalagi yang harus aku terima.
“Nggak usah becanda deh, Raf. Nggak lucu.” ujarku sambil berakting senyum.
Rafa tidak menjawab perkataanku. Dia fokus mengemudikan mobilnya. Sampai akhirnya kita sampai di suatu tempat. Tempat yang tak asing lagi untukku. Ya, karena aku sudah sangat sering pergi ke tempat ini.
“Lo tau kan ini tempat siapa?”
Aku hanya diam, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Bagaimana Rafa bisa tahu tentang tempat ini? Hanya tiga orang yang tahu tempat ini. Aku, Dita, dan....Tante Maya.
Rafa menggandengku masuk ke dalam tempat itu. Dan tiba-tiba berhenti di suatu tempat. Disana terpampang jelas sebuah nama “Tian Handika”.
“Jelasin sama gue apa maksud semua ini.” ujarku sambil meneteskan air mata.
Rafa menarik nafas panjang. Sepertinya ia sudah tidak bisa lagi menyimpan rahasia itu. Sejak kejadian malam itu, ia selalu memikirkan kata-kata Dirga. Dan disinilah puncak dari semuanya.
“Waktu Tian masuk rumah sakit, gue masih ada di Singapura karna memang disana awalnya gue kuliah. Nyokap tiba-tiba nelpon gue dan bilang kalau Tian pengen ketemu gue karna ada sesuatu yang mau dia omongin ke gue. Saat itu juga gue terbang ke Indonesia. Sampai di Indonesia, gue langsung ke rumah sakit. Gue nggak bisa nahan air mata gue ketika gue liat saudara gue terbaring lemah ditempat tidur rumah sakit.”

DUA TAHUN YANG LALU
“Akhirnya lo dateng juga, bang.”
“Gimana keadaan lo?”
“Ya beginilah gue. Ada yang pengen gue omongin ke lo.”
“Ngomong aja lagi.”
“Beberapa bulan belakangan, gue deket sama seorang cewek. Dia cantik, baik, dan gue rasa gue jatuh cinta sama dia. Tapi gue nggak dikasih kesempatan sama Tuhan buat kenal dia lebih jauh. Lo mau kan bang, gantiin posisi gue?”
“Maksud lo?”
“Gue mau lo dateng dikehidupan dia setelah gue nggak ada nanti. Gue mau lo sayangi dia sama seperti gue menyayangi dia, lebih bagus lagi kalo rasa sayang lo itu lebih besar dari rasa sayang gue. Di buku ini, gue tulis semua kenangan yang pernah gue lakuin sama dia dan disana juga, ada foto dia. Kalo lo nggak bisa sayang sama dia, paling enggak lo lakuin buat gue. Gue nggak mau ngeliat dia terus-terusan sedih gara-gara gue, gue juga nggak mau dia jatuh ke cowok yang nggak baik.”
“Oke, gue bakal lakuin itu semua buat lo. Siapa nama cewek itu?”
“Kayla...Kayla Ramadhani. Satu lagi bang, bantuin gue nulis surat buat dia.”
                                                       *****
Air mataku mulai menetes. Aku masih tidak percaya hal ini akan terjadi padaku. Setelah sekian lama aku mengenal Rafa, ternyata Rafa menyimpan rahasia sebesar ini. Nggak heran kenapa selama ini Rafa begitu perhatian padaku. Ternyata semua itu dia lakukan demi Tian, adiknya.
“Yang nulis surat itu....lo?”
“Iya. Setelah gue nulis surat itu, keadaan Tian menurun. Waktu itu nyokap udah panik banget. Dan nggak lama...”
“Kenapa lo bisa nyimpen rahasia sebesar ini dari gue? Kenapa ha?! Lo tau seberapa besar perasaan gue ke Tian?!”
“Maafin gue, Kay. Gue cuma takut lo bakal ngejauhin gue setelah gue cerita semua ini.”
“Apalagi yang lo sembunyiin dari gue?!”
“Emm....perasaan gue.”
“Apa?”
“Awalnya gue ngelakuin ini semua demi Tian. Tapi semakin gue kenal sama lo, perasaan itu makin tumbuh, Kay. Dan didepan makam Tian, gue mau bilang kalo gue.....gue sayang sama lo, Kay. Gue nggak tau apa rasa sayang gue ini lebih besar daripada rasa sayang Tian ke lo tapi gue janji gue akan sayang sama lo melebihi rasa sayang Tian.”
“Lo tau kan nggak ada yang bisa gantiin posisi Tian dihati gue?”
“Iya gue tau. Gue nggak minta lo buat ngelupain Tian gitu aja. Kasih gue ruang baru di hati lo, Kay. Apa bisa?”
Aku terdiam. Bingung dengan semua keadaan ini. Jujur saja, memang aku mulai menaruh hati pada Rafa karna rasa perhatiannya. Dia mampu membuat duniaku kembali berwarna. Setiap menit dan detik, dia selalu bisa melukiskan hal indah dihatiku. Dan...memang ini sebenarnya yang aku inginkan dari dia. Tapi, kenapa harus seperti ini?!
Aku melihat bayangan Tian hadir disana. Ia tersenyum manis padaku. Ini pertama kalinya dia ‘menampakkan’ diri didepanku. Dia seperti mengisyaratkanku untuk menerima tawaran Rafa. Aku menghapus air mataku detik itu juga.
“Raf...lo nggak akan pergi ninggalin gue kan?”
“Sebisa mungkin gue akan lakuin itu, Kay buat lo.”
“Lo nggak akan maksa gue buat ngelupain Tian kan?”
“Nggak akan. Nggak akan pernah, karna gue tau seberapa penting Tian buat lo.”
“Gue...gue bakal nyediain satu tempat dihati gue buat lo. Lebih dari seorang sahabat dan lebih dari seorang teman.”
“Jadi?”
Aku hanya tersenyum pada Rafa. Aku nggak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa Rafa memang mulai mengisi hatiku. Sekarang aku mengerti apa maksud kalimat Tian diakhir surat itu. Aku sudah bertemu Tian kembali, namun Tian pada sosok yang berbeda.
                                                       TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar