“Kaylaaaaaa!! Lo dimana sekarang? Urgent nih
urgent!!”
Aku melirik jam wekerku,
baru menunjukkan pukul enam pagi. Andita memang selalu sukses mengacaukan hari
mingguku.
“Menurut lo jam
segini dihari minggu gue ada dimana hah?”
“Sapa tau aja lo
udah pergi ke tempat Tian. Lo kan selalu rajin kesana.”
“Urgent apaan
sih?”
“5 menit lagi
gue on the way ke rumah lo. Siap-siap ya. Habis dari tempat Tian, lo temenin
gue ke rumah Pak Akbar ya?”
“Ngapain lo
pagi-pagi ke rumah Pak Akbar?”
“Ntar aja gue
jelasin. Bye!”
OMG!! Susah
emang musuh cewek super ribet model Andita. Nolak ajakannya salah, apalagi
nggak nolak. Tapi mau gimana pun dia sahabatku, sahabat terbaikku. Dia yang
selalu ada buat aku kapanpun dan dimanapun. Dia orang pertama yang tau tentang
semua yang aku rasain. Bahkan untuk berbohong didepan Andita pun aku nggak
bisa. Temen-temen kita bahkan bilang kalau kita itu sepaket. Dimana ada aku
disitu selalu ada Andita, begitu juga sebaliknya.
“Selalu gini deh
ya. Bilangnya 5 menit lagi on the way tapi sampe sekarang nggak nyampe juga.”
gerutuku sejak tadi.
Yaps, jam sudah
menunjukkan pukul sepuluh tepat dan sampe detik ini, menit ini, jam ini, Andita
belum juga datang. Sudah lewat 4 jam yang lalu sejak dia berhasil menghancurkan
mimpi indahku. Ngaret dan selalu ngaret. Kalau tahu begini kan mending tidur
lagi.
Baru saja aku
akan melangkah ke kamar, suara cempreng itu muncul. “Hai, Kay. Lama ya?”
ujarnya kemudian. Andita emang bener-bener makhluk tanpa dosa yang diutus Tuhan
untuk masuk dalam hidupku.
“Menurut lo?
Gila ya, 4 jam Dit 4 jam!!”
“Heheh maaf deh.
Berangkat yuk, ke tempat Tian dulu kan?”
Aku hanya
mengangguk.
****
Di tempat yang
sunyi ini. Disini aku bertemu dengan dia untuk kesekian kalinya. Dia yang
menjadi inspirasiku dulu saat aku baru merasakan bangku perkuliahan. Tepatnya
dua tahun yang lalu.
“Hai, Tian. Maaf
ya aku baru kesininya siang, ini nih si Dita ngaret. Dia bangunin aku jam 6
pagi katanya sih mau ke rumah Pak Akbar eh taunya nyampe rumah jam 10. Nyebelin
kan?” Aku menelan ludah, menghembuskan napas panjang, dan berusaha untuk tidak
mengeluarkan air mataku ditempat ini sambil menaburkan bunga di peristirahatan
Tian.
“Oh ya, aku
berencana menulis novel lagi tapi sampai detik ini aku masih bingung cerita apa
yang akan aku buat. Doain aku ya, supaya bisa dapet inspirasi lagi dan nerbitin
novel kedua aku.”
Aku merasakan
tangan Dita merengkuh bahuku.
“Kita pulang,
Kay.”
“Tapi gue masih
kangen sama Tian. Udah seminggu gue nggak kesini.”
“Gue tau, tapi
lo masih inget janji lo tadi pagi kan?”
Aku
menghembuskan napas panjang (lagi). “Maaf ya Tian, kali ini aku nggak bisa
lama-lama. Kalo ada waktu luang lagi, aku pasti kesini kok. Bye.”
****
Alih-alih
mengajakku ke rumah Pak Akbar, Dita malah membelokan mobil ke salah satu mall. Harusnya
dari awal aku bisa menduga maksud dan tujuan Andita. Lagi-lagi aku berhasil
dibohongi. Shit!!
“Mau ngapain di
mall?”
“Nemenin gue
shopping heheh.”
“Lo bilang tadi
mau ke rumah Pak Akbar?”
“Sori, Kay gue
bohong. Habis kalo nggak gitu, lo mana mau nemenin gue shopping hari minggu
gini. Lo pasti milih buat tidur seharian daripada nemenin gue, ya kan?”
Andita emang
bener-bener absurd. Kalo udah gini mana mungkin aku maki-maki dia. Semua udah
terlanjur, nasi udah jadi bubur. Lagi pula nggak ada salahnya sih nemenin
Andita shopping toh juga aku bisa belanja.
Mulai dari toko
baju, toko accesories, toko sepatu, toko tas, semua toko yang ada di mall kita
masukin satu-satu. Yah, walaupun cuma liat-liat doang. Sebenernya kita sendiri
juga bingung apa yang pengen dibeli. Semua barang bagus, semua barang lucu,
tapi nggak mungkin kan kita beli semua. Itu yang bikin lama, mikir mau beli apa
enggak. Walaupun hati nurani rasanya pengen banget beli semua barang yang ada
disana, tapi apa daya kalau dompet cuma menyisakan beberapa lembar saja..
Sedang
asik-asiknya melihat kacamata disalah satu toko, aku mendengar suara ribut dari
depan toko. Setengah berlari, aku keluar dari toko. Di tengah koridor aku
melihat Andita sedang berdebat dengan seorang laki-laki bertubuh jangkung.
“Ada apaan sih,
Dit?”
“Dia temen lo?”
sahut seseorang disamping Andita.
“Iya, kenapa
emang?”
“Kasih tau nih
ya sama temen lo yang satu ini, kalo jalan tuh pake mata. Liat nih minuman gue
tumpah gara-gara ditabrak dia.”
“Gue nggak
sengaja, Kay. Lagian dia juga jalan sambil main handphone, dan gue lagi ngeliat
baju yang dipasang didisplay toko ini. Gue nggak tau kalo ada orang.”
“Tuh, lo denger
sendiri kan apa kata temen gue. Lagian masalah gini aja dibesar-besarin. Lebay
deh lo jadi orang.”
“Apa lo bilang?
Gue lebay? Lo nggak liat baju gue basah?”
“Sini lo!!”
Dengan emosi yang
memuncak, aku menggeret laki-laki itu masuk ke sebuah toko yang menjual pakaian
khusus laki-laki. Dan tentunya Andita mengikutiku dari belakang. “Mau ngapain
lo?” gumam laki-laki itu namun aku tidak menghiraukannya, aku malah balik
bertanya,
“Ukuran baju lo
apa?”
“XL.” jawabnya
kemudian.
Aku mengambil
beberapa potong pakaian berukuran XL sesuai dengan ukuran yang diminta
laki-laki resek ini.
“Nih. Lo pilih
salah satu, gue yang bayar.”
Laki-laki itu
mencari baju yang cocok untuk dia. Setelah menemukan yang seusai dengan
pilihannya, dia masuk ke kamar ganti. Aku pergi ke kasir untuk membayar baju
yang dipilihnya. Setelah memberi beberapa lembar uang seratus ribuan, aku dan
Andita langsung pergi dari toko itu tanpa memerdulikan laki-laki resek itu
lagi.
“Kay, lo gila ya
ninggalin tuh cowok gitu aja.”
“Lo mau masalah
kita makin ribet?”
“Ya enggak sih.
Tapi kalo habis dia keluar dari kamar ganti terus dia nyariin kita gimana?”
“Who cares? Toh juga baju yang dia pilih
udah gue bayar kan? Jadi masalah selesai. Kita langsung balik aja deh. Mood gue
langsung ilang setelah ketemu tuh cowok. Jadi cowok ribet amet, masalah kecil
digede-gedein.”
Andita hanya
mengangguk seadanya. Mungkin dia merasa bersalah karna masalah ini muncul
gara-gara dia atau mungkin dia nggak mau buka suara karna takut aku
menceramahinya sama seperti aku menceramahi laki-laki resek itu.
“Tapi, Kay.
Cowok yang tadi itu kece juga loh.”
“Dita?!!”
****
Baru sampai dikampus,
udah ada berita heboh aja. Ada mahasiswa baru yang katanya sih kece pindahan
dari luar negeri. Penasaran, sekece apa sih tuh mahasiswa sampai jadi trending
topic dikampus. Well, kayaknya nggak susah deh nemuin informasi itu.
“Lagi gosipin
apaan sih?”
“Lo belum tau,
Kay? Ada mahasiswa baru gitu dikampus kita, pindahan dari Australia. Keren deh
dia, emm kalo nggak salah namanya Rafa Aditya.”
Wow hebat banget
nih cewek langsung tau semua tentang mahasiswa baru itu. Aku nggak ngerti sama
perbincangan mereka sampai akhirnya suara cempreng itu...
“Kaylaaaaa!!!!”
“Ini kampus ya,
Dit. Apaan sih kayak orang dikejar setan aja.”
“Lo tau lo tau,
cowok yang kemaren ketemu sama kita di mall---” sambil mengambil napas.
“Yes, kenapa
emang? Dia masih neror lo?”
“Dia kuliah
disini.”
“WHAATTT?!!”
****
“Mana sih mana?”
“Itu tuh yang
lagi duduk, pakai jaket kulit. Dia cowok yang kemarin kan?”
“Oh My God,
diantara sekian banyak kampus di Indonesia kenapa mesti kampus kita yang dia
pilih?!!”
“Ati-ati deh lo,
Kay. Jangan-jangan dia mau balas dendam soal kemaren.”
“Ih lo apa-apaan
sih, Dit. Jangan bikin gue parno deh.”
Diantara ratusan
bahkan ribuan kampus di Indonesia kenapa cowok itu milih universitas yang sama
denganku. Dan itu artinya setiap hari aku dan dia akan sering bertemu. Setelah
kejadian kemarin, aku yakin dia pasti masih tidak terima dengan tindakanku yang
langsung ngeluyur pergi tanpa pamit setelah memberinya pakaian secara ‘gratis’.
Kalo dilihat
dari sisi cerita memang dia nggak bisa asal marah-marah sama aku, karena aku
nggak salah. Tapi kalo dilihat dari etika kesopanan, ya jelas aku salah. Pergi
begitu saja tanpa meminta maaf walaupun itu sebenarnya kesalahan Andita,
sahabatku. Mungkin ini hukuman dari Tuhan buat aku, harus bertemu dengan lelaki
itu setiap hari.
“Lo?!!” ujar
lelaki itu saat mengetahui aku dan Andita sedang asik duduk di kantin
memperhatikan dia.
“Ngapain lo ada
disini?” lanjutnya.
“Menurut lo?”
“Jangan bilang
lo kuliah disini juga?!”
“Yes, it’s
true.”
“Oh My God!! Gue
nggak nyangka orang kayak lo bisa keterima di kampus ini? Very impossible.”
“Impossible?”
Sembarangan aja
nih cowok kalo ngomong. Dia pikir aku ini nggak punya otak apa. Masuk ke
universitas ini emang nggak gampang, tapi aku juga nggak sebodoh itu. Buktinya
aku bisa masuk sini. Amarahku mulai nggak bisa terkontrol.
Tatapan sinis,
dan dengan satu hentakan di kakinya.
“Aaawwww!!!”
“Sakit ya? Lain
kali kalo mau ngomong dipikir dulu, jangan asal nyeplos!!”
****
Novel keduaku
stuck! Nggak ada inspirasi satu pun yang muncul. Jauh berbeda disaat aku masih
bersama dia dulu. Ya Tuhan, betapa aku merindukan sosok itu. Merindukan suara
merdunya, merindukan hangat peluknya, merindukan jemari tangannya. Andai waktu
dapat ku putar, aku sangat ingin berada disisinya saat itu. Andai waktu dapat
ku putar, tak akan aku sia-siakan setiap detik dan menit yang kita lalui
bersama.
Air mataku
kembali mengalir. Selalu dan selalu begini. Sudah dua tahun semenjak dia pergi
tapi masih saja begini. Setiap detail tentang dia, aku masih mengingatnya. Setiap
menit bersama dia dulu, aku juga masih mengingatnya. Entah sampai kapan aku
seperti ini. Aku tahu, aku sadar, aku nggak boleh selamanya seperti ini. Aku
masih mempunyai masa depan, masih banyak yang harus aku kerjakan. Tapi apa
boleh buat, setiap kali aku mencoba melupakannya yang terjadi malah sebaliknya.
Kakiku melangkah
menyusuri koridor demi koridor mall ini. Aku memutuskan untuk keluar rumah
untuk membuang sedihku ini. Ya, aku adalah orang yang tidak ingin membagi
sedihku pada orang lain, termasuk pada sahabatku sendiri. Sebuah cafe dengan
nuansa klasik, disini aku pijakan kakiku. Aku sedih karena dia tapi sekarang
ini, justru aku berada ditempat pertama kita bertemu. Ah sudahlah, mungkin
disini memang tempat yang tepat untuk menghilangkan rasa rinduku dengan dia.
“Oh My God, dari
sekian tempat diseluruh Indonesia, kenapa gue harus ketemu sama lo ditempat ini
sih? Kemarin di mall, hari ini dikampus dan ketemu lagi di cafe?”
Suara cempreng
itu lagi. Disaat mood’ku nggak baik
kayak gini pun, lagi-lagi aku harus mendengar suara itu?
“Gue lagi nggak
pengen ribut sama lo.” ujarku seadanya.
“Oke-oke, fine.
By the way, gue boleh duduk sini? Cafenya lagi rame nih.”
“Duduk aja.”
Mengeluarkan
headset dari saku bajunya, lalu duduk dengan santainya.
****
Dua Tahun Yang
Lalu...
Seperti biasa,
hari ini aku kembali berkutat dengan laptop dan secangkir cappucino hangat
disebuah cafe disalah satu mall ternama dikotaku. Aku masih disibukan dengan
deadline kompetisi menulis novel. Cuma dengan cara ini aku bisa meraih
cita-citaku untuk menjadi seorang penulis.
“Argh, kenapa
mesti buntu gini sih. Perasaan kemarin-kemarin gak gini-gini amat deh. Ayo dong
inspirasi buruan muncul.” batinku sambil mengacak-acak rambut.
Sudah hampir 5
jam aku duduk disini dan entah sudah berapa cangkir cappucino yang aku pesan
daritadi. “Permisi?” sebuah suara menghancurkan lamunanku. Seorang lelaki
dengan tinggi kurang lebih 170 cm, putih, dengan lesung pipi disebelah kanan
tiba-tiba muncul didepanku.
“Kaget ya?
Maaf-maaf, gue gak bermaksud bikin lo kaget. Emm kenalin, nama gue Tian.”
ujarnya kemudian lalu mengulurkan tangan. Aku masih sibuk memperhatikan dia
sampai akhirnya aku melihat ada kerutan didahinya seakan memberitahuku untuk
segera menjabat tangannya.
“Sori-sori gue
malah ngelamun, nama gue Kayla. Ada apa ya? Lo mau pake tempat ini? Tapi gue
masih pengen duduk disini nih.”
“Kalo lo masih
mau pake tempat ini ya silahkan, tapi boleh gak gue duduk dibangku ini. Kosong
kan? Udah gak ada tempat lagi nih.”
“Silahkan. Maaf
ya agak berantakan.”
Well, sebenernya
lelaki ini udah gak asing lagi buat aku. Dia juga sering nongkrong di cafe ini
tapi baru kali ini aku dan dia bisa bertegur sapa. Jujur, sebenarnya aku sering
banget merhatiin dia. “Pasti bentar lagi dia bakal ngeluarin handphonenya terus
dengerin lagu pake headset.” tebakku. Dan benar saja, dia melakukan itu. Tanpa
sadar, bibirku melengkungkan sebuah senyuman kecil.
“Kenapa? Ada
yang aneh?” tanya Tian tiba-tiba.
“Enggak ada kok.
By the way, lo sering nongkrong di cafe ini kan?”
“Iya. Cafe ini
tempat favorit gue kalo gue lagi suntuk dirumah. Lo sendiri juga sering
nongkrong di cafe ini kan? Gue sering ngeliat lo dan lo selalu duduk dibangku
ini. Yang gak gue ngerti cuma satu, lo ngapain betah banget lama-lama di cafe
ini.”
“Heheh iya.
Habis tempat ini adem sih, udah pw juga. Gue lagi nyari inspirasi buat cerita
di novel gue, bentar lagi pengumpulannya.”
****
“Woy, ngapain lo
ngeliatin gue kayak gitu?”
Ingatan itu
kembali muncul. Awal pertemuanku dengan dia. Ya Tuhan, maksud dan tujuanku
kesini adalah untuk membuang rasa sedihku tapi kenapa yang terjadi malah
sebaliknya. Sampai kapan aku terus-terusan kayak gini.
“HELLLOOO?!!”
teriak Rafa.
“Apaan sih lo,
Raf?! Gue belum budek!!”
“Oh kirain lo
udah budek. Ngapain sih lo ngelamun gak jelas gitu?”
“Kepo banget sih
lo.”
****
Semalaman suntuk
aku berusaha meneruskan novelku, tapi hasilnya nihil! Ditambah lagi harus
bertemu dengan ‘makhluk astral’. Huah, gimana mau nerbitin novel kedua kalau
begini terus keadaannya. Andai inspirasi bisa dibeli di toko swalayan, andai
inspirasi segampang nyari kunci motor yang nggak ke buang di tong sampah...
“Woy, pagi-pagi
udah ngelamun. Kenapa lo?”
Tanpa suara.
“KAYLAAAA!!!”
Masih tanpa
suara.
“HELLOOO
KAYLAAA!!!”
“Ha? Apaan,
Dit?”
“Otak sama indra
pendengaran lo masih normal kan? Daritadi gue teriakin gak denger. Lo kenapa
pagi-pagi udah ngelamun?”
“Bete gue. Lo
tau kan gue pengen punya novel kedua, tapi sampe sekarang gue masih belum tau
cerita apa yang bakal gue buat.”
“Well, Kay..Yang
namanya nulis itu nggak bisa dipaksa, kalo lo belum dapet inspirasi ya mungkin
emang sekarang belum waktunya. Lo masih muda, masih punya banyak waktu buat
nyiptain karya-karya yang keren.” “Woles, sista!” sambil menepuk bahuku.
“Andai aja masih
ada Tian.”
“Mulai deh. Mau
sampe kapan sih, Kay lo kayak gini terus? Lo nggak capek? Tian pernah bilang
kan ke lo kalo tanpa dia lo bisa jadi penulis hebat, dan gue sependapat sama
dia.” “Tapi nyatanya? Sekarang gue stuck!”
“Mungkin itu
karna mindset lo. Di otak lo selalu tertanam seolah-olah cuma Tian yang bikin
lo semangat nulis padahal lo masih punya gue, lo masih punya keluarga, lo masih
punya orang-orang yang sayang sama lo dan selalu nyupport lo. Lo harus buktiin
ke Tian kalo lo bisa.”
“Tapi....”
“Gue yakin kok
lo pasti bisa.”
****
Because
tonight will be the night
That
I will fall for you
Over
again
Don't
make me change my mind
Or I
won't live to see another day
I
swear it's true
Because
a girl
like you is impossible to find
You're
impossible to find
Aku berdiri
terdiam. Mendengar alunan petikan gitar dan lantunan kata demi kata. Lagu
itu..Lagu yang sering aku nyanyikan dengan dia dulu. Tapi kini yang aku lihat
bukanlah dia.
“Ngapain lo
bengong disana?”
“Lo...lo tau
dari mana lagu itu?”
Bego! Pasti
sebentar lagi dia bakal ngetawain gue.
“Fall For You?
Siapa coba nggak ngerti lagu itu. Ada-ada aja pertanyaan lo.” sambil memasang
wajah aneh.
Baru ingin
melangkah meninggalkan cowok tengil itu.
“Eh mau kemana
lo?” Tiba-tiba dia menarik tanganku dan membawaku duduk disampingnya. Entah
kenapa, aku hanya diam membisu. Tidak ada komentar pedas, atau kalimat-kalimat
‘mematikan’.
“Temenin gue
main gitar. Bete juga main gitar sendiri nggak ada yang nonton, nggak ada yang
dengerin. Lo mau request lagu apa?”
****
“Dit, gue cabut
duluan ya.”
“Buru-buru amat,
Kay mau kemana?”
“Tian udah
nunggu didepan heheh.”
“Hemm pantesan,
mau pacaran?”
“Belum resmi
hahahah. Ya udah deh, gue duluan ya?”
“Take care.”
Semenjak
perkenalan di cafe, aku dan Tian semakin sering bertemu. Entah itu untuk
membahas novelku atau hanya hangout biasa. Tapi aku dan dia paling suka
jalan-jalan di taman. Dia sibuk memainkan gitar dan bernyanyi sedangkan aku
sibuk menulis. Bahkan terkadang aku juga ikut bernyanyi dengannya. Tian
bagaikan malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongku menggapai mimpiku menjadi
seorang penulis.
Sejak aku kecil,
aku sangat ingin menjadi seorang penulis. Sudah banyak pula tulisan-tulisan
yang aku buat, namun semua tulisanku itu musnah begitu saja saat laptop
kesayanganku diambil maling. Mungkin kalau laptop itu masih ada, saat ini aku
tidak perlu bingung membuat cerita. Tinggal seleksi mana yang menurutku bagus,
kirim deh. But, Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ‘keapesan’
hamba-Nya dan mungkin ini adalah salah satu rencana Tuhan buat aku. Ya, bertemu
dengan dia
“Mau nyanyi lagu
apa lagi nih? A thousand years udah, Firasat udah, Melepasmu udah, ada saran?”
“Kamu tau
lagunya secondhand serenade yang fall for you? Aku suka sama lagu itu, bisa
dibilang itu lagu barat paling favorit.”
“Did you know,
pertama kali aku belajar main gitar, aku mainin lagu itu.”
“Really?”
“Because tonight
will be the night that i will fall for you, over again don’t make me change my
mind or i wont live to see another day i swear it’s true, because a girl like
you is impossible to find; you’re impossible to find.”
Suara Tian
selalu menjadi penyejuk saat aku sedang menulis. Bagaikan air terjun yang
mengalir deras, begitulah inspirasi yang tiba-tiba muncul saat mendengar dia
bernyanyi. Aku sangat bersyukur bisa bertemu seseorang seperti Tian.
****
“A thousand
years.” ujarku tiba-tiba.
“Oh lagu itu. Lo
suka lagu-lagu Christina Perri?”
“Ha..emm..oh
enggak cuma lagi pengen denger lagu itu aja.”
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand yearsI'll love you for a
thousand more
Time stands still
Time stands still
Beauty in all she isI will be braveI will not
let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer
I have died everyday waiting for you
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand yearsI'll love you for a
thousand more
And all along I believed I would find you
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to meI have loved
you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
One step closer
One step closer
One step closer
I have died everyday waiting for you
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Air
mataku tidak mampu ku tahan lagi. Disini puncak kerinduanku pada sosok Tian
yang dulu selalu menemaniku. Tian yang selalu menjadi inspirasiku disaat aku
sedang menulis. “Kapan kita akan bertemu lagi Tian? Kapan?! Di surat itu kamu
bilang kalau kita akan segera bertemu..” batinku.
“Kay,
kok lo nangis?”
Sadar
ada Rafa yang masih disebelahku, segera aku menghapus air mata yang sudah
terlanjur membasahi pipiku.
“Gue..gue
nggak nangis kok, cuma kelilipan aja.”
“Gue
juga bisa bedain kali mana nangis yang karna kelilipan, mana nangis yang emang
beneran nangis.”
“Apaan
sih lo, sok tau banget!” aku segera berdiri dan segera beranjak pergi.
“Kalo
lo butuh temen curhat, lo bisa kok cerita ke gue. Gue penjaga rahasia yang
handal. Mungkin kita bisa....berteman? Well...makasih lo udah mau dengerin gue
nyanyi.”
Tanpa
jawaban, aku meninggalkan Rafa di taman kampus. Entah mengapa jantungku
berdebar saat Rafa bilang ingin berteman. Rasanya aku ingin berteriak dan
seketika, ingatan tentang Tian hilang. Hemm, mungkin ini hanya perasaan biasa
karna dia menyanyikan lagu yang aku minta.
****
“Terus
lo mau temenan sama dia?”
“Gue
nggak jawab, langsung gue tinggal pergi gitu aja.”
“Gue
rasa nggak ada salahnya lo terima tawaran dia. Jadi kalo lo nggak bisa curhat
ke gue karna gue lagi sibuk, lo masih punya temen curhat satu lagi.”
“Tapi
kan gue kenal dia baru berapa bulan ini, Dit.”
“Tapi
gue percaya kok, dia bisa ngejagain lo sama kayak Tian ngejagain lo dulu. Dulu
lo sama Tian juga cuma kenalan berapa bulan terus jadian kan?”
“Belum
jadian, lebih tepatnya.”
“Whatever deh, pokoknya gitu deh. Gue
percaya sama Rafa.”
Perkenalanku
dengan Tian memang singkat. Hanya satu bulan dan aku sudah menaruh hati
padanya. Entah itu cinta atau hanya perasaan nyaman, yang jelas ketika bersama
dia, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Semua mengalir begitu saja.
****
Kumulai
lagu ini dengan bernyanyi
Waktu berhenti khayal menari nari
hanyut kedalam senyummu
Waktu berhenti khayal menari nari
hanyut kedalam senyummu
tak
peduli..
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Karena kamu cantik
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
Bukan
karena make-up di wajahmu
atau lipstik merah itu (dibibirmu)
Lembut hati tutur kata terciptalah cinta yang ku puja
atau lipstik merah itu (dibibirmu)
Lembut hati tutur kata terciptalah cinta yang ku puja
tak
peduli..
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Langit menertawakanku
kau mencuri..hatiku, mimipiku
Semua rinduku
Karena
kamu cantik
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
Karena
kamu cantik
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
kan ku beri segalanya apa yang kupunya
dan hatimu baik..
sempurnalah duniaku saat kau disisiku
“Widih..ada
yang lagi jatuh cinta nih.”
“Siapa?”
“Yah
pake tanya lagi nih anak. Ya lo’lah, siapa lagi coba. Siapa tuh ceweknya?”
“Bukan
siapa-siapa. Orang tadi cuma lagu doang.”
“Ngeles
aja lo kayak bajaj. Siapa?”
“Hahahah
udah deh gak usah kepo. By the way, ngapain lo kesini?”
“Gue
habis kenalan sama cewek, Bro.”
“Anak
mana?”
“Anak
sastra. Namanya Andita, lo kenal?”
“Andita?
Kayaknya sih gue kenal tapi gini deh biar mastiin tebakan gue ini bener, gimana
kalo lo ngajak dia ketemuan tapi gue ikut.”
“Oke,
kebetulan gue juga pengen ngajak dia jalan. Tapi habis kenalan, lo kudu
cepet-cepet pergi. Deal?”
“Iyee,
paham deh yang lagi kasmaran.”
****
“Ngapain
sih lo ketawa-ketawa sendiri? Gila?”
“Sialan
lo. Tadi gue habis kenalan sama anak fakultas hukum. Keren deh anaknya.”
“Te-russsss?”
“Namanya
Dirga, terus kita tukeran nomer handphone dan dia ngajak gue jalan. Kyaaaaa!!!
Sumpah ini pertama kalinya gue diajak jalan sama cowok.”
“Oh.”
“Cuma
oh?”
“Terus
gue harus ngapain?”
“Kasih
selamat kek, apa kek. Lo nggak suka gue deket sama cowok?”
“Becanda
kali neng. Kok bisa sih kenalan sama dia?”
“Jadi
tadi gue kan nungguin lo keluar terus tiba-tiba dia nyamperin gue gitu. Dia
bilang katanya dia udah sering merhatiin gue tapi nggak berani nyamperin gue
karena gue selalu sama lo. Katanya dia juga punya temen anak sastra juga. Hemm,
besok kan gue mau ketemuan lagi nih sama dia, lo ikut aja ntar gue kenalin deh
sama Dirga.”
“Boleh
deh.”
Sahabatku
yang satu ini memang nggak pernah deket sama yang namanya cowok. Salah satu
penyebabnya adalah dia terlalu jutek sama cowok. Bahkan sikap juteknya itu
melebihi cewek yang lagi PMS.
Mungkin
karna dia menyadari kalau selama ini sikapnya dia itu salah, awal masuk bangku
kuliah Andita mulai berubah sedikit demi sedikit. Ya, walaupun kalo lagi sama
aku dia tetep jadi Andita yang ‘sedikit’ nyebelin. Tapi aku salut sama
perubahan demi perubahan yang dilakuin Andita. Hasilnya? Seorang mahasiswa
fakultas hukum, mau kenalan sama dia. Congratulation, girl!
“Nomor
nggak dikenal? Siapa nih?” batinku ketika melihat layar handphone yang
menampilkan sederet angka yang nggak aku kenal.
“Hallo?”
“Hai,
ini gue Rafa.”
“Rafa?
Lo tau darimana nomer handphone gue?”
“Mau
tau aja atau mau banget? Hahahah becanda. Gue tanya ke anak-anak ada yang punya
nomer handphone lo apa enggak, ternyata ada yang punya ya gue minta aja. Nggak
boleh ya? Gue ganggu?”
“Enggg...enggak
kok. By the way, ada apa ya?”
“Lo
lagi dirumah?”
“Enggak,
gue lagi dirumah Andita ngerjain tugas. Udah selesai sih, ini mau pulang.
Kenapa emang?”
“Gue
jemput ya? Lagi bete juga dirumah, temenin gue jalan ya?”
“Jalan?”
“Iya,
bisa?”
“Emm...boleh
deh. Ntar gue sms’in alamat rumah Andita.”
****
Lagi
asyik-asyiknya ngepoin Andita yang baru kenalan sama cowok, tiba-tiba handphone
aku berdering dengan nyaringnya. Nomor yang tertera dilayar handphone aku,
nomor yang nggak aku kenal. “Rafa?” batinku. Aku mengutuk diriku sendiri!
Kenapa aku berharap nama itu. Oh God, help me!!
Aku
sedikit menjauh ketika mengangkat telfon dari nomor itu. Jantungku berhenti
berdetak ketika lawan bicaraku “ini gue Rafa.”. Tebakanku nggak meleset. Tapi
tau darimana dia nomor handphoneku? Buat apa juga dia menelponku?
“Siapa,
Kay?”
“Rafa.”
“Ra-fa?
Dia nelpon lo? Ada apaan? Tau nomor handphone lo dari mana?”
“Katanya
sih dari anak-anak. Ngajakin jalan, katanya dia lagi bete dirumah.”
“Terus
lo mau?”
Hanya
dengan anggukan kepala.
“Thanks
God, akhirnya Engkau membukakan pintu hati Kayla.”
“Emangnya
selama ini pintu hati gue kenapa? Rusak?”
“Dia
jemput lo kesini?”
“Iyap.”
Bener
kata Andita, nggak ada salahnya aku berteman dengan Rafa. Kalau aku bisa
berteman dengan Tian dengan mudahnya, kenapa nggak aku coba sama Rafa. Hemm
bukan berarti aku juga dengan mudahnya naruh hati ke Rafa. Mungkin perasaan
‘aneh’ku selama ini cuma perasaan-perasaan biasa dan bukan apa-apa. Well,
nambah lagi deh temen curhatku.
“Mau
kemana sih, Raf?”
“Nggak
tau. Lo ada saran?”
Aku
ingin sekali ke tempat itu. Ingin mengenang dia yang dulu selalu menemani
hariku. “Apa kabar kamu disana?” batinku.
“Kayla?”
“Ha?
Emm ke taman yang di tengah kota, lo tau kan?”
“Oh
iya gue tau, gue juga sering kesana.”
Dan
sekarang, aku berdiri disini. Setelah dua tahun semenjak pertemuan terakhir
kita, selama itu pula aku tidak pernah menginjakan kakiku lagi disini. Semuanya
belum berubah, masih sama seperti yang dulu. Muda-mudi yang bersantai,
komunitas-komunitas yang mengadakan pertemuan, para pedagang yang menjajakan
dagangannya, semuanya masih sama.
Yang
berbeda, dulu aku kesini bersama Tian tapi sekarang dia sudah pergi. Saat aku
merindukan sosoknya, hanya ini yang bisa aku lakukan. Mengenang setiap detik
dan menit yang dulu pernah kita lalui bersama. Dadaku mulai terasa sesak, rindu
ini sudah tak tertahan lagi. Dan akhirnya tangis ini pun pecah.
“Gue
kangen dia, Raf. Gue kangen!!!”
Ingin
rasanya aku berteriak sekeras mungkin untuk menghilangkan rasa sesak ini. Aku
merindukan obat penenangku. Kenapa dia harus pergi? Kalau kita dipertemukan
hanya untuk sementara, aku lebih menginginkan kita nggak pernah bertemu!!
“Lo
kenapa, Kay kok lo nangis? Kangen? Lo kangen siapa?”
“Gue
kangen dia. Gue pengen ketemu dia. Tian. Dia yang dulu sering ngasih semangat
ke gue waktu gue lagi nggak mood nulis. Dia yang selalu ada buat gue, nemenin
gue nulis kalo Dita lagi nggak bisa. Tapi disaat gue udah mulai terbiasa sama
kehadiran dia, disaat gue mulai naruh hati ke dia, dia ninggalin gue. Padahal
gue masih butuh dia.” dibahu Rafa aku tumpahkan semua yang mengacaukan hatiku.
Sudah lama rasanya aku ingin mengeluarkan ini semua. Dan sekarang semua tumpah
begitu saja. Disini, di taman ini, untuk yang pertama kalinya aku luapkan
semuanya. Berharap dia mendengar semua yang aku rasakan. Berharap dia mengerti
apa yang aku rasakan.
“Dimana
ada pesta nggak mungkin pesta itu berlangsung selamanya, pasti ada akhirnya.
Begitu juga dengan pertemuanmu dan Tian. Kalian dipertemukan untuk saling
melengkapi dan menemani, namun jika sudah waktunya untuk berakhir maka itu akan
berakhir. Kalo boleh memilih, mungkin semua manusia menginginkan pertemuan itu
nggak akan ada akhirnya. Tapi jika Tuhan sudah berkehendak, apa yang bisa
dilakukan? Nggak semua perpisahan berakhir pahit, selalu ada hal indah dibalik
kesedihan itu. Percaya sama gue.” “Semuanya bakal indah pada waktunya. Gue
nggak nyuruh lo buat ngelupain Tian, karna yang namanya kenangan memang sudah
sepantasnya untuk dikenang tapi yang harus lo inget, lo harus belajar buat
ngikhlasin semuanya. Pelan-pelan lo pasti bisa.”
Tangisku
mulai mereda. Seakan menerima sebuah tamparan keras. Aku merasakan ada sesuatu
yang salah dalam diriku selama ini. Kenangan itu memang untuk dikenang tapi
enggak seharusnya aku ikut larut dalam kenangan itu. Sudah banyak waktu yang
aku buang karena kenangan itu yang mengusikku.
Aku
harus bersikap tegas. Rafa benar, kenangan itu nggak akan pernah mati. The show must go on, aku masih punya
sejuta impian dan nggak seharusnya aku merelakan impianku sirna hanya karena
aku terlalu terpuruk. Aku memang merasa kehilangan, tapi aku harus merelakan
itu karena itu memang sudah kehendak Tuhan.
“Udah
tenang?”
“Lo
bener, Raf. Gue masih punya banyak impian, kalo gue kayak gini terus apa
jadinya gue. Gue yakin, Tian disana juga nggak pengen ngeliat gue kayak gini
terus. Thanks ya, Raf lo udah ngasih masukan ke gue. Thanks juga karena lo udah
mau dengerin gue.”
“No
problem, udah seharusnya gue ngelakuin itu.”
“Seharusnya?”
“Emm...iya
kan kita temen?”
“Iya
lo bener.”
“Nah
gitu dong senyum, kan keliatan tuh cantiknya.”
“Jago
gombal juga lo hahahah.”
****
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang ku rindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu karena semua mungkin akan sirna
Biarkan aku melukiskan bayangmu karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba kau selalu ada walau
tersimpan di relung hati terdalam
Hari
ini sebelum ke kampus, aku memutuskan untuk pergi ke ‘rumah’ Tian. Sudah tiga
hari ini aku tidak kesana. Memang kemarin aku sudah janji sama Rafa untuk
berubah, tapi aku nggak mau Tian salah paham. Aku harus menceritakan semuanya.
“Selamat
pagi, Tian. Maaf banget aku baru bisa kesini sekarang. Aku mau cerita banyak ke
kamu. Jadi beberapa hari lalu aku ketemu sama seorang cowok yang awalnya aku
pikir cowok itu tengil, angkuh tapi ternyata dia baik banget. Namanya Rafa, dia
juga yang udah nyadarin aku kalo selama ini yang aku lakuin itu salah. Nggak
seharusnya aku terlalu berlarut-larut dan kamu juga sebenernya nggak mau kan
ngeliat aku kayak gitu terus.”
“Aku
mau berubah, Tian. Ini semua demi impian aku dan demi kamu juga. Aku nggak mau
kamu sedih ngeliat aku kayak gini, dan aku juga nggak mau impian aku hancur.
Bukan berarti aku ngelupain kamu, enggak. Kamu akan selalu ada dihati aku
sampai kapanpun. Aku harap kamu ngerti ya, Tian. See you, ganteng.”
Satu
kata; lega! Hari ini adalah awal dari semuanya. Awal dari seorang Kayla
Ramadhani yang baru. Novel kedua, i’m coming!!
“Kay,
ntar sore lo jadi nemenin gue ketemu Dirga kan?”
“Iya
jadi, emang ketemuan dimana sih?”
“Di
Town Square. Pulang kuliah langsung aja capcus kesana biar nggak ribet.”
“Terserah
lo deh. Tapi hari ini gue nggak bawa mobil, dipake nyokap arisan.”
“Bagus
dong jadi gue bisa modus biar dianter Dirga pulang.”
“Apa
kabar sama gue nih ceritanya?”
“Katanya
sih Dirga ngajak temennya juga, lo bisa pulang bareng dia. Hahahah.”
“Sialan,
gue jadi korban.”
Persahabatan
itu lucu. Disaat sahabatmu sedang merasakan kebahagiaan, entah mengapa kamu
juga turut merasakan kebahagiaan yang sama dengan dia. Bahkan demi kebahagiaan
itu, kamu rela melakukan apa saja agar dia tetap merasakan kebahagiaan itu.
Persahabatan tidak mengenal seberapa lama kamu dan dia saling mengenal, namun
persahabatan adalah seberapa paham kamu mengerti arti persahabatan itu sendiri.
Rafa
Lagi
dimana?
Reply
Lagi
dikelas, kenapa?
Lo
nggak ada kelas?
Rafa
Nggak
ada apa-apa sih, cuma mau mastiin aja.
Ada
sih, tapi ntar agak siangan.
Ya
udah deh, selamat belajar cantik ;)
Reply
Thank
you :)
****
*ting*
Aku
merogoh saku celanaku ketika mendengar nada dering bbm. Aku memang tidak pernah
memasang mode silent untuk
handphone’ku karena memang selama ini aku tidak pernah terganggu ataupun
diganggu oleh handphone selama aku menerima pelajaran. Dan aku juga bukan tipe
orang yang langsung membalas pesan ketika sedang melakukan hal yang menurutku
jauh lebih penting.
Aku
mengerutkan dahi ketika membaca pesan pada kolom chat. Bingung dan heran. Semenjak kejadian kemarin, dia selalu
memberi perhatian-perhatian kecil. Mungkin ini perhatian seorang teman. Andita
juga sering melakukan hal ini, nggak perlu terlalu dipikirkan.
****
“Mana
sih?”
Sudah
hampir satu jam, aku dan Andita duduk dibangku restoran ini tanpa memesan
makanan apapun. Kalau boleh jujur, aku merasa sungkan dengan pelayan restoran
disini. Daritadi kita hanya duduk diam, sibuk dengan gadget masing-masing padahal sudah ditawari daftar menu.
“Kesan
pertama aja udah buruk banget menurut gue. Lo nggak ngerasa risih gitu daritadi
diliatin pelayan?”
“Bodo
amat. Kan tadi gue udah bilang kalo masih nunggu orang. Sabar aja kenapa sih.”
Untung
aja Andita nggak punya sifat yang sama denganku. Mungkin kalau aku yang
diposisi Andita, udah daritadi aku pergi dari tempat ini. Aku paling nggak suka
sama yang namanya ‘ngaret’. Kalau udah janjian jam segitu, ya harus on time. Namanya aja janjian, keputusan
bersama dan disanggupi kedua pihak tapi kenapa masih ngaret juga.
Mungkin
apa kata sebagian orang tentang masyarakat Indonesia itu benar. Jam yang
digunakan Indonesia itu bukan jam besi yang udah pasti tapi jam karet yang bisa
molor-molor. Kalo molor 5-10 menit, okelah masih bisa ditoleransi nah ini udah
hampir sejam. Kayaknya kalo Dirga dan Andita sampai jadian, mereka bakal jadi
pasangan yang cocok deh; sama-sama tukang ngaret.
“Tuh
mereka.”
“Mereka?”
Aku
membalik badan. Mataku melotot ketika melihat salah seorang yang sedang
berjalan ke arahku dan Andita. Jadi maksud temen cowok Dirga yang dimaksud
Andita tadi itu ternyata...Rafa?
“Hai.
Udah lama ya nunggunya?” tanya Dirga.
Baru
saja aku ingin membuka mulut, baru saja aku ingin menyahuti kata-kata Dirga
dengan sejuta kalimat makian, Andita sudah memasang wajah malaikat dan berkata
“Enggak kok, kita baru aja nyampe. Tadi mampir-mampir dulu soalnya, maklumlah
cewek.”
Ingin
rasanya detik itu juga aku menjambak rambut Andita. Dia bilang kita baru
sampai? Satu jam aku menunggu dengan perut kelaparan, dia masih bilang baru
sampai. Sahabat gue yang satu ini emang paling the best kalo udah berurusan
sama yang namanya bohong.
“Oh
ya kenalin, Raf ini Andita yang kemarin gue ceritain. Dit, ini Rafa temen gue.”
“Kalo
Rafa sih gue udah kenal. Bahkan gue sama Kayla kenal Rafa duluan. Oh ya, Kay
ini yang namanya Dirga.”
“Hai,
gue Kayla. Dunia itu sempit ya, ternyata temen gue sama Andita eh temen lo
juga.” masih dengan tampang sinis dan berlagak sok asik.
“Sebenernya
gue temen adiknya Rafa, kenal sama adiknya ya juga harus kenal sama kakaknya
dong. Logikanya sih gitu, Rafa udah gue anggep kayak saudara sendiri.”
“Adik?
Kok lo nggak pernah cerita, Raf kalo lo punya adik? Terus adik lo sekarang
dimana?” sela Andita.
“Adik
gue...” raut wajah Rafa yang semula sumringah berubah menjadi datar setelah
mendengar pertanyaan Andita tadi. Dan aku bisa melihat itu. “Dia udah lebih
dulu dipanggil Tuhan---kanker hati.”
“Sori,
Raf gue nggak bermaksud.” ucap Andita.
“It’s
oke, no problem. Gue laper nih, pesen makanan enak nih kayaknya.”
Mulutku
bagai diplester ketika mendengar dua kata terakhir yang diucapkan Rafa. Kanker
hati. Ternyata Rafa juga merasakan apa yang aku rasakan dulu. Kita sama-sama
merasakan kehilangan orang yang kita sayang. Pantas saja waktu itu ditaman, dia
bisa dengan tegas mengatakan itu semua.
Sehabis
makan, aku melihat Andita melempar kode. Ya, aku paham kode apa itu. Dia
menginginkan aku segera pergi agar dia dan Dirga punya waktu berdua. Maklum deh
ya, namanya juga orang lagi jatuh cinta. Serasa dunia milik berdua sedangkan
yang lain cuma nge’kost.
“By
the way, Raf. Lo habis gini ada acara nggak? Gue mau minta tolong nih.”
“Enggak
kayaknya. Minta tolong apaan?”
“Temenin
gue ke toko buku. Gue mau survei gitu soal novel apa sih yang sekarang-sekarang
ini lagi diminati sama anak-anak muda jaman sekarang. Gimana?”
“Boleh
tuh boleh. Kebetulan gue juga mau nyari buku buat bahan mata kuliah besok. Gue
kekurangan buku banget soalnya, kalo minjem diperpus terus nggak leluasa.”
“Jadi
ceritanya kita mencar nih?” sahut Dirga akhirnya.
“Ya
kalo lo mau ikut gabung sih terserah.” jawabku. Aku tahu dalam hati Andita
pasti berharap Dirga bilang enggak. Keliatan dari raut mukanya yang tiba-tiba
kaget karna aku ngajakin Dirga gabung. Emm, sengaja sih emang buat ngetes
Dirga. Kalo Dirga emang beneran suka sama Andita pasti dia nolak dan pilih buat
jalan berdua bareng Andita biar mereka saling kenal.
“Emm...enggak
deh. Gue sama Andita jalan sendiri aja. Lagian juga gue pengen kenal Andita.
Siapa tahu cocok.”
“Kay,
kalo lama-lama disini kayaknya kita bakal jadi obat nyamuk deh. Gimana kalo
kita pergi sekarang aja?” sahut Rafa.
“Setuju
deh gue sama lo, Raf. Bye, Dita.”
Setelah
berpamitan dengan Dirga dan Andita, aku dan Rafa keluar restoran dan tentunya
kita juga dengan terpaksa pindah mall. Karena selain di mall ini nggak ada toko
bukunya (karena isinya tempat makan semua), kita juga harus ngalah sama
pasangan yang lagi jatuh cinta.
****
“Emm,
Raf..”
“Yap?”
“Sebenernya
gue nggak bener-bener pengen ke toko buku, itu cuma alasan gue doang. Habis
Andita udah ngode gue buat cabut.”
“Hahaha
kok kita bisa samaan sih? Dirga tadi nge’bbm gue nyuruh gue cabut. Terus ini
kita kemana?”
“Entahlah,
gue juga bingung mau kemana.”
“Makan
es krim aja gimana?”
“Ngikut
aja deh gue, kan gue nebeng lo.”
Rafa
hanya melempar senyum. Senyum yang hangat. Senyum yang dulu juga pernah aku
rasakan ketika aku sedang bersama Tian.
Saat kau jatuh lukai hati
Dimanapun itu i'll find you
Saat kau lemah dan tak berdaya
Saat kau lemah dan tak berdaya
Lihat diriku untukmu
Kapanpun mimpi terasa jauh
Ingatlah sesuatu ku akan selalu
Jadi sayap pelindungmu
“Lagu
lo galau-galau ya?”
“Dengerin
lagu galau bukan berarti gue lagi galau. Gue suka aja sama lagunya. Puitis gitu
liriknya.”
“Oh
kirain lo galau.”
Rafa
sosok orang yang penuh misteri. Cenderung pendiam. Jalan sama Rafa malah bikin
aku salah tingkah sendiri. Nggak tau mau ngomong apa. Dia cuma jawab apa yang
gue tanya, selebihnya dia lebih banyak diam. Terus aku harus gimana? Aku
sendiri juga tipe orang yang nggak jauh beda dari dia. Kesalahan banget aku
iyain ajakan dia makan es krim.
“Gue
perhatiin dari tadi lo lebih banyak diemnya, kenapa?”
“Ya
gini ini gue. Sori ya kalo lo jadi nggak nyaman.”
“It’s
oke.”
“Kay...gue...boleh
tau nggak soal...”
“Soal
apa?”
“Soal...Tian.
Itupun kalo lo nggak keberatan, gue nggak maksa kok.”
Aku
melemparkan senyuman ke arah Rafa. “Tian itu inspirasi pertama gue. Pertama
kali gue ‘nyemplung’ ke dunia novel, dia yang ngasih semangat gue buat nyelesain
tulisan gue. Dia juga yang ngasih banyak masukan ke gue. Gue nyaman ada didekat
dia, nggak tau kenapa tiap gue lagi jalan sama dia, gue selalu dapet inspirasi
nulis. Sayang..pertemuan gue sama dia nggak berlangsung lama. Bahkan gue belum
sempat bilang apa yang hati gue rasain ke dia. Udah takdirnya kali ya.”
“Umm..emang
sekarang Tian dimana?”
“Di
sisi Tuhan. Sama kayak yang dialami adek lo, kanker hati. Gue tau’nya pun
telat. Telat banget. Seminggu sebelum gue nerbitin novel pertama gue.
Seandainya waktu itu gue nggak dateng ke rumahnya, mungkin sampai detik ini gue
masih menganggap dia sebagai seorang cowok brengsek yang udah bikin gue jatuh
cinta sama dia terus dia pergi gitu aja.”
Air
mataku jatuh lagi. Jatuh untuk kesekian kalinya. Padahal aku udah janji sama
diri aku sendiri kalau nggak akan nangis lagi. Memang benar kata orang bijak,
seseorang yang bisa membuatmu tertawa adalah seseorang yang berpeluang besar
membuatmu menangis. Dan Tian sudah membuktikan kalimat itu.
Aku
mencoba tersenyum sambil menahan air mata ini agar tidak mengalir lebih deras. “Segitu
aja ya, Raf. Gue nggak tahan.”
“Sori,
gue nggak maksud bikin lo nangis. Gue cuma pengen tau aja seberapa penting Tian
dalam hidup lo. Sekarang gue ngerti kenapa waktu itu lo sampe nangis kayak
gitu, sayang lo ke Tian besar banget. Apa lo tau Tian punya perasaan yang sama
ke lo apa enggak?”
“Sebelum
dia pergi, dia nitipin surat ke nyokapnya dan di surat itu dia bilang kalau dia
suka sama gue sejak kita ketemu di cafe. Cinta memang harus diungkapkan tapi
tidak semua cinta bisa dimiliki setelah pengungkapan.” Aku menghapus air
mataku.
Dua
Tahun yang Lalu...
Suara Tian
selalu menjadi penyejuk saat aku sedang menulis. Bagaikan air terjun yang
mengalir deras, begitulah inspirasi yang tiba-tiba muncul saat mendengar dia
bernyanyi. Aku sangat bersyukur bisa bertemu seseorang seperti Tian.
“Kalau nanti aku
menang dan cerita aku ini diterbitin, cerita ini bakal aku persembahin buat
kamu.”
“Buat aku?
Kenapa?”
“Kamu inspirasi
aku. Mungkin kalau waktu itu bangku di cafe gak rame, aku gak akan mungkin bisa
kenal sama kamu dan mungkin juga aku akan gagal menggapai cita-citaku.”
“Kamu memujiku
terlalu berlebihan. Menurutku, kamu itu memang mempunyai bakat menulis. Tanpa
ada aku di kehidupanmu pun, kamu bisa menjadi penulis terkenal.”
“Enggak, Tian.
Ini semua berkat kamu, aku berterima kasih karena kamu udah mau jadi
inspirasiku. Selamanya kamu bakal jadi inspirasiku kan?”
“Entahlah, aku
gak bisa janji.”
“Ayolah Tian,
janji sama aku kalo kamu bakal terus jadi inspirasi aku. Ya?”
Tian hanya
tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala. Itu saja udah cukup membuatku
senang.
Dia yang dulu
sering nyanyiin aku di telpon, dia yang dulu sering ngasih semangat waktu badmood, dia yang dulu jadi moodbooster, sekarang hilang dan musnah
begitu saja. Aku kangen kamu, Tian..Kangen
“Udahlah, Kay
jangan sedih gitu. Mungkin Tian lagi sibuk sama kuliahnya.” Andita sepertinya
paham dengan apa yang aku rasain sekarang.
“Sesibuk-sibuknya
dia, masak gak bisa sih ngasih kabar ke gue. Gak perlu via telpon deh, via sms
kan bisa. Dulu juga sesibuk-sibuknya dia, dia selalu ada waktu buat ngabarin
gue kok. Apa jangan-jangan dia udah punya cewek ya makanya dia ngejauh dari
gue?”
“Huss, jangan
nethink gitulah. Gue yakin, Tian bukan cowok yang kayak gitu.”
“Temenin gue ke
rumah Tian yuk.”
“Sekarang?”
“Nunggu abad
100. Ya iyalah sekarang.”
“Oh jadi kamu
yang namanya Kayla?”
“Iya tante. Kok
tante tau saya?”
“Tian sering
cerita tentang kamu ke tante. Kata Tian, kamu itu cewek yang periang, cantik, pekerja
keras, dan gak gampang menyerah. Tante sebenarnya sudah lama ingin ketemu kamu
eh akhirnya sekarang kesampaian.”
“Iya, Tan. Emm,
Tiannya ada kan, Tan? Saya sudah lama gak ketemu sama Tian, Tian juga udah gak
pernah ngasih kabar ke saya.”
Raut wajah Tante
Maya yang awalnya ceria, seketika berubah menjadi sedih. Dititik ini aku
merasakan sesuatu yang aneh. Ada apa dengan Tian sampai mamanya jadi sedih
begini. Tiba-tiba Tante Maya masuk ke dalam kamar dan kembali keluar dengan
membawa sebuah amplop. Aku semakin heran, ada apa ini sebenarnya.
“Ini titipan
dari Tian buat kamu sebelum dia pergi.”
“Pergi? Tian
pergi kemana, Tan?
“Kamu baca aja
dulu itu.”
Aku pun membuka
amplop yang diberikan Tante Maya.
Hai,
Kayla
Mungkin
saat kamu baca surat ini, aku udah gak ada didunia ini lagi. Maaf kalau aku
bikin kamu khawatir. Aku cuma gak mau ngeliat Kayla yang ceria jadi sedih
gara-gara aku. Makasih Kay karena kamu, aku jadi punya semangat hidup lagi, aku
jadi punya harapan lagi. Aku udah berjuang semampuku, Kay tapi penyakit ini
makin lama makin ganas. Bahkan tubuhku pun gak bisa lagi nahan rasa sakit ini.
Aku memang gak pernah cerita soal ini ke kamu, karena menurutku ini gak
penting. Tetaplah menjadi seorang penulis yang ceria ya, Kay. Aku yakin kamu
pasti bisa menjadi penulis hebat. Oh ya satu lagi sebelum aku pergi, aku pengen
banget ngomong gini ke kamu..Aku suka sama kamu sejak awal kita ketemu di cafe
itu, Kayla Ramadhani...Kita pasti ketemu lagi kok. J
From
your inspiration, Tian...
Air mataku
mengalir begitu derasnya. Selama ini Tian menutupi tentang sakit yang
dideritanya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak pernah sedikitpun menanyakan
tentang kesehatannya. “Apa maksudnya ini, Tan? Tian kenapa?”
“Tian punya
penyakit kanker hati stadium akhir. Tante udah sering bilang ke dia buat ngasih
tau kamu tentang ini, tapi dia bilang kalau dia gak mau bikin kamu sedih.
Sampai akhirnya minggu lalu, Tuhan memanggil dia.”
Jantungku
rasanya mau copot. Air mataku makin deras mengalir. Berakhir, duniaku berakhir.
Apa jadinya aku tanpa kamu, Tian? Apa aku masih bisa menjadi penulis? Kenapa
kamu harus pergi secepat ini, saat aku masih butuh kamu?
****
“Jujur aja, Raf
pertama kali gue denger lo nyanyi lagu fall for you di taman kampus dan
pertemuan kita di cafe waktu itu...gue ngerasa deja vu. Apa yang lo lakuin,
suara lo, cara lo main gitar, semuanya mirip kayak apa yang pernah dilakuin
Tian ke gue dulu.”
“Cuma kebetulan
aja kali.”
“Maybe. Sampai
kapanpun nggak ada yang bisa gantiin posisi Tian dihati gue.”
“Seorang pun? Lo
nggak nikah-nikah dong?”
“Bukan itu
maksud gue. Maksud gue itu Tian akan selalu ada di hati gue apapun yang
terjadi. Gue nggak akan ngelupain dia sampai kapanpun, jasa dia ke gue terlalu
besar sampai gue nggak tau mau ngebalesnya kayak gimana.”
“Oke, gue
paham.”
“Udah malem nih,
cabut yuk.”
“Kemana?”
“Kayaknya gue
mau pulang aja deh, badan gue pegel semua nih. Nggak apa-apa’kan?”
“Bukan mau
ngelanjutin nangis kan?”
“Hahaha
nggaklah, serius deh badan gue pegel.”
“Janji sama gue
malem ini terakhir kalinya lo nangis?”
“Janji!”
“Oke, mari kita
pulang.”
****
“Kyaaaaa, sumpah
Kay kemarin gue seneng banget. Belum apa-apa nih ya, dia udah ngajakin gue
kerumahnya terus dikenalin ke nyokapnya. Nyokapnya welcome gitu sama gue.”
“Ya udah gih
sana buruan jadian.”
“Kalo gue
jadian, terus lo gimana?”
“Gue?
Maksudnya?”
“Ntar yang
nemenin lo curhat malem-malem siapa? Kalo lo lagi kangen Tian, lo nangis dibahu
siapa? Kalo lo butuh saran buat nulis, siapa yang lo tanyain?”
“Jadi maksud lo
kalo lo udah punya cowok, lo bakal lupa sama gue gitu? Fine banget, Dit.”
“Becanda neng.
Sensi amat jawabnya.”
“Lo jadian sama
Dirga juga gue nggak bakal kesepian, kan ada.....”
“Ada siapa?”
“Ada...nyokap
bokap gue, saudara-saudara gue.”
“Dan ada Rafa!
Lo pasti mau nyebutin nama itu juga kan?”
“Apaan sih lo
nggak jelas banget. Udah ah gue mau ke kantin, laper.”
Nama itu...kini
nama itu selalu ada dalam kehidupanku. Aku mulai memperhitungkan keberadaannya.
Kini, tidak ada celah sedikitpun untuk tidak melihat senyumnya. Bahkan aku rasa,
kini senyumnya bagaikan candu yang membuatku tidak bisa untuk tidak melihatnya.
Dia menjadi sosok yang sangat berarti untukku saat ini. Sampai kapan? Entahlah,
namun salahkah bila aku mengharapkan untuk selamanya? Tidak terlalu mulukkah
harapanku itu? Ah, rasanya tidak. Bukankah semua hal itu berawal dari sebuah
harapan?
Aku mulai fokus
menulis novel keduaku. Masih nggak jauh dari tema percintaan, karna tema cinta
hingga saat ini masih menjadi favorit terutama dikalangan pelajar dan
mahasiswa. Namun kisahku kali ini, akan aku ambil dari kisahku sendiri. Kisah
yang benar-benar aku alami. Bisa dibilang aku memindahkan isi diary’ku kedalam
novelku ini.
“Woy, ngelamun
aja!”
Suara itu. Suara
yang aku tunggu sejak tadi. Seketika aku menghela napas panjang. Seolah-olah
beberapa menit lalu aku sedang menahan napas yang cukup lama. Dan akhirnya
obatku datang.
“Kebiasaan deh
ya. Kalo dateng itu bisa nggak sih kalo nggak bikin orang jantungan? Lo mau gue
kena serangan jantung mendadak?”
“Hahaha lebay
banget deh.” ujarnya sambil mengeluarkan senyum mautnya. Senyum yang aku suka.
“Ngapain sih
bengong sendirian di taman gini. Tadi kata Andita lo di kantin, gue cari di
kantin eh taunya lo disini. Lagi galau ya?”
“Apaan sih lo,
Raf. Emang kalo gue lagi di taman gini itu artinya gue lagi galau?”
“Nah terus
ngapain?”
“Lo nggak liat
daritadi didepan gue ada apaan?”
“Iya gue liat.
Ada laptop kan?”
Aku memasang
wajah bertanya-tanya seolah memberi kode kepada Rafa tentang apa yang sedang
gue lakuin disini dan tentunya aku berharap Rafa nggak terlalu bodoh untuk
menangkap kode dariku.
“Oh, i see.
Emang udah tau mau bikin novel apa?”
Fiuhh! Ternyata
dia ngerti apa yang aku maksud. Hemm, ternyata dia cukup pandai untuk menebak
sebuah kode.
“Udahlah. Gue
mau bikin cerita tentang apa yang gue alami.”
“Are you
serious?”
“I am really
serious!”
“Oke, gue sih
cuma bisa ngedukung sekaligus berdoa novel lo nanti bisa masuk novel best
seller.”
“Aminnn.”
“Lo udah makan
belum? Gue beliin makanan dikantin ya?”
“Lo emang temen
gue yang paling pengertian. Tau aja kalo temennya belum makan hahah. By the
way, thank you.”
“Buat?”
“Buat apapun
yang udah lo lakuin ke gue.”
“Apaan sih lo,
gak jelas banget. Mau makan apaan?”
“Apa aja deh
yang penting bikin kenyang.”
“Rumput campur
tanah, mau?”
“Sialan lo, tega
bener ngasih gue makanan kayak gitu. Lo pikir gue kambing.”
Rafa hanya
tersenyum mendengar jawabanku dan langsung ngacir ke kantin. Anak itu selalu
begitu. Sifat misteriusnya nggak pernah ilang sedikit pun. Aku heran sendiri,
dulu waktu mamanya hamil dia, mamanya ngidam apaan coba sampai punya anak
semisterius itu.
Kurang dari lima
menit Rafa sudah kembali membawa satu kantung plastik yang sudah pasti berisi
makanan dan air mineral.
“Nih makanannya.”
Aku tidak
menghiraukan apa yang Rafa katakan karna aku terlalu asik dengan duniaku. Dengan
sigap Rafa mengambil laptop yang ada didepanku.
“Makan dulu baru
lanjut lagi.”
“Nanggung, Raf. Dikit
lagi deh...dikit aja.” ujarku manja.
“Kalo gue bilang
makan, ya makan. Atau lo mau gue hapus nih cerita lo biar lo ngulang semua dari
awal?”
Skak mat! Rafa
selalu bisa membuatku menuruti semua yang dia ucapkan. Tentunya karna dia
sangat cerdas untuk hal mengancam. Siapa coba yang nggak nurut kalo udah
diancam gitu. Aku sih ogah ya harus ngulang nulis dari awal.
Aku mengambil
makanan yang dibelikan Rafa tadi. Tentunya dengan muka ditekuk beribu lipatan. Sedangkan
dia? Dia hanya tersenyum lebar layaknya orang telah memenangkan perang. “Makan
ya makan aja, nggak usah sambil cemberut gitu. Kasian tuh nasinya lo
cemberutin.” Aku sama sekali tidak menghiraukan perkataan Rafa.
****
Dirumah, aku
masih tetap disibukan dengan dunia tulis menulisku. Handphone sengaja aku
matikan agar tidak ada yang menggangguku. Begitu juga dengan lagu yang aku
putar dari laptop, aku pasang dengan volume sekeras mungkin agar tidak
mendengar hal apapun.
Kini, waktu
sudah menunjukkan pukul 23:00. Kalau dihitung, aku sudah menghabiskan waktu
lebih dari 3 jam untuk meneruskan ceritaku. Aku mengambil handphone’ku yang
tergeletak diatas kasur.
“10 message, 5
chat? Siapa nih ngirim pesan ke gue banyak bener.”
Aku membuka
ruang inbox’ku. Dan disana tertera nama “Rafa”. Aku hanya tersenyum membaca
semua pesan singkat Rafa. 5 chat itu juga berasal dari orang yang sama. Aku membaca
isi pesan singkat terakhir dari Rafa.
Rafa
(+62811340xxxxx)
Gw gak tau sekarang lo lg ngapain, stlh
lo baca sms gw ini lo hrs telp gue!
Aku segera menekan tombol hijau setelah
mencari nama Rafa dalam daftar kontakku.
“Apaan sih lo,
berisik banget deh. Nggak kurang banyak tuh ngirim 10 sms sama 5 bbm? Pegel gue
bacanya.” ujarku saat Rafa baru mengangkat telpon dariku.
“Woy! Kenapa
jadi lo yang sewot ha?! Harusnya yang ngomel-ngomel itu gue. Lo ditelpon nggak
bisa, di sms plus di bbm nggak dibales. Kemana aja sih lo? Ke negeri
antabrantah?”
“Selow aja kali
kalo ngomong, gendang telinga gue bisa pecah nih. Sori-sori, gue tadi lagi
nulis dan nggak mau diganggu terus handphone gue matiin deh heheh. Kenapa sih
emang?”
“Ya nggak
apa-apa sih. Cuma gue khawatir aja lo kenapa-napa, habis lo dihubungin nggak
bisa. Syukur deh kalo lo nggak kenapa-napa.”
“I’m fine.”
“Ya udah kalo
gitu, udah malem juga. Tidur sana lo, besok kuliah pagi juga kan. Nggak usah
nerusin nulis, liat jam tuh udah jam berapa.”
“Iya bawel, gue
juga udah mau tidur kok. Night.”
“Night too,
princess. Have a nice dream.”
Dan percakapan
pun terputus. Baru beberapa bulan aku mengenal Rafa rasanya sudah seperti
bertahun-tahun aku mengenalnya. Persahabatan kita memang aneh. Persahabatan? Sejauh
ini memang itu “status” kita.
“Mau sampai
kapan lo nggak ngasih tau identitas lo yang sebenernya?”
“Gue belum tau,
Dir.”
“Lo udah deket
banget sama dia, harusnya lo udah bisa jelasin semuanya ke dia termasuk soal
identitas lo dan Tian.”
“Lo nggak cerita
masalah ini ke Andita kan?”
“Enggaklah, Raf.
Buat apa juga gue nyeritain hal ini ke dia.”
“Gue belum
nemuin waktu yang tepat buat ngungkap semuanya ke dia. Gue takut kalo udah
cerita semuanya, dia bakal jauhin gue. Gue nggak mau itu terjadi.”
“Jangan bilang
lo.....”
“Mungkin. Salah
kalo gue punya rasa itu?”
“Cinta nggak
pernah salah. Lagian itu juga kan yang di mau Tian dari lo?”
“Thanks, bro.”
*****
Rafa
Kay, pulang kuliah ntar lo bareng sama
gw ya?
Ada sesuatu yang mau gw omongin ke lo.
“Sesuatu?”
batinku usai membaca chat yang dikirm Rafa. Apa yang mau diomongin Rafa ke aku,
sepertinya penting banget.
Reply
Oke, gue selesai kuliah jam 3.
Rafa
Sip (y)
“Lo mau
ngomongin apa, Raf?”
“Soal....”
“Apaan? Nggak
usah sok misterius gitu deh.”
“Soal....siapa
gue sebenernya.”
Aku tertawa
mendengar ucapan Rafa. Tertawa sekaligus bingung dengan maksud ucapannya. Apa yang
selama ini nggak aku tahu soal Rafa? Apa dia menyembuyikan sesuatu?
“Emang lo siapa?
Anak presiden? Anak menteri?”
“Gue...gue
kakaknya Tian.”
Glekk!
Tawaku beberapa detik yang lalu langsung hilang. Kakak? Tian? Oh Tuhan, apalagi
ini. Kenyataan apalagi yang harus aku terima.
“Nggak usah
becanda deh, Raf. Nggak lucu.” ujarku sambil berakting senyum.
Rafa tidak
menjawab perkataanku. Dia fokus mengemudikan mobilnya. Sampai akhirnya kita
sampai di suatu tempat. Tempat yang tak asing lagi untukku. Ya, karena aku
sudah sangat sering pergi ke tempat ini.
“Lo tau kan ini
tempat siapa?”
Aku hanya diam,
tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Bagaimana Rafa bisa
tahu tentang tempat ini? Hanya tiga orang yang tahu tempat ini. Aku, Dita,
dan....Tante Maya.
Rafa
menggandengku masuk ke dalam tempat itu. Dan tiba-tiba berhenti di suatu
tempat. Disana terpampang jelas sebuah nama “Tian Handika”.
“Jelasin sama
gue apa maksud semua ini.” ujarku sambil meneteskan air mata.
Rafa menarik
nafas panjang. Sepertinya ia sudah tidak bisa lagi menyimpan rahasia itu. Sejak
kejadian malam itu, ia selalu memikirkan kata-kata Dirga. Dan disinilah puncak
dari semuanya.
“Waktu Tian
masuk rumah sakit, gue masih ada di Singapura karna memang disana awalnya gue
kuliah. Nyokap tiba-tiba nelpon gue dan bilang kalau Tian pengen ketemu gue
karna ada sesuatu yang mau dia omongin ke gue. Saat itu juga gue terbang ke
Indonesia. Sampai di Indonesia, gue langsung ke rumah sakit. Gue nggak bisa
nahan air mata gue ketika gue liat saudara gue terbaring lemah ditempat tidur
rumah sakit.”
DUA
TAHUN YANG LALU
“Akhirnya
lo dateng juga, bang.”
“Gimana
keadaan lo?”
“Ya
beginilah gue. Ada yang pengen gue omongin ke lo.”
“Ngomong
aja lagi.”
“Beberapa
bulan belakangan, gue deket sama seorang cewek. Dia cantik, baik, dan gue rasa
gue jatuh cinta sama dia. Tapi gue nggak dikasih kesempatan sama Tuhan buat
kenal dia lebih jauh. Lo mau kan bang, gantiin posisi gue?”
“Maksud
lo?”
“Gue
mau lo dateng dikehidupan dia setelah gue nggak ada nanti. Gue mau lo sayangi
dia sama seperti gue menyayangi dia, lebih bagus lagi kalo rasa sayang lo itu
lebih besar dari rasa sayang gue. Di buku ini, gue tulis semua kenangan yang
pernah gue lakuin sama dia dan disana juga, ada foto dia. Kalo lo nggak bisa
sayang sama dia, paling enggak lo lakuin buat gue. Gue nggak mau ngeliat dia
terus-terusan sedih gara-gara gue, gue juga nggak mau dia jatuh ke cowok yang
nggak baik.”
“Oke,
gue bakal lakuin itu semua buat lo. Siapa nama cewek itu?”
“Kayla...Kayla
Ramadhani. Satu lagi bang, bantuin gue nulis surat buat dia.”
*****
Air mataku mulai
menetes. Aku masih tidak percaya hal ini akan terjadi padaku. Setelah sekian
lama aku mengenal Rafa, ternyata Rafa menyimpan rahasia sebesar ini. Nggak heran
kenapa selama ini Rafa begitu perhatian padaku. Ternyata semua itu dia lakukan
demi Tian, adiknya.
“Yang nulis
surat itu....lo?”
“Iya. Setelah
gue nulis surat itu, keadaan Tian menurun. Waktu itu nyokap udah panik banget. Dan
nggak lama...”
“Kenapa lo bisa
nyimpen rahasia sebesar ini dari gue? Kenapa ha?! Lo tau seberapa besar
perasaan gue ke Tian?!”
“Maafin gue,
Kay. Gue cuma takut lo bakal ngejauhin gue setelah gue cerita semua ini.”
“Apalagi yang lo
sembunyiin dari gue?!”
“Emm....perasaan
gue.”
“Apa?”
“Awalnya gue
ngelakuin ini semua demi Tian. Tapi semakin gue kenal sama lo, perasaan itu
makin tumbuh, Kay. Dan didepan makam Tian, gue mau bilang kalo gue.....gue
sayang sama lo, Kay. Gue nggak tau apa rasa sayang gue ini lebih besar daripada
rasa sayang Tian ke lo tapi gue janji gue akan sayang sama lo melebihi rasa
sayang Tian.”
“Lo tau kan
nggak ada yang bisa gantiin posisi Tian dihati gue?”
“Iya gue tau.
Gue nggak minta lo buat ngelupain Tian gitu aja. Kasih gue ruang baru di hati
lo, Kay. Apa bisa?”
Aku terdiam. Bingung
dengan semua keadaan ini. Jujur saja, memang aku mulai menaruh hati pada Rafa
karna rasa perhatiannya. Dia mampu membuat duniaku kembali berwarna. Setiap menit
dan detik, dia selalu bisa melukiskan hal indah dihatiku. Dan...memang ini
sebenarnya yang aku inginkan dari dia. Tapi, kenapa harus seperti ini?!
Aku melihat
bayangan Tian hadir disana. Ia tersenyum manis padaku. Ini pertama kalinya dia ‘menampakkan’
diri didepanku. Dia seperti mengisyaratkanku untuk menerima tawaran Rafa. Aku menghapus
air mataku detik itu juga.
“Raf...lo nggak
akan pergi ninggalin gue kan?”
“Sebisa mungkin
gue akan lakuin itu, Kay buat lo.”
“Lo nggak akan
maksa gue buat ngelupain Tian kan?”
“Nggak akan. Nggak
akan pernah, karna gue tau seberapa penting Tian buat lo.”
“Gue...gue bakal
nyediain satu tempat dihati gue buat lo. Lebih dari seorang sahabat dan lebih
dari seorang teman.”
“Jadi?”
Aku hanya
tersenyum pada Rafa. Aku nggak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa Rafa
memang mulai mengisi hatiku. Sekarang aku mengerti apa maksud kalimat Tian
diakhir surat itu. Aku sudah bertemu Tian kembali, namun Tian pada sosok yang
berbeda.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar